5.23.2010

Let Me


Saya kembali bertemu dengan sahabat lama yang hilang empat tahun lalu. Bertemunya pun lewat FB dan kemudian kami berkomunikasi melalui telepon. Sahabat saya menghilang karena hantaman luar biasa dalam kehidupan keluarganya. Suaminya berselingkuh tapi sahabat saya yang diperkarakan. Sahabat saya akhirnya bercerai dan mengalami masa-masa suram paska perceraiannya hingga harus menarik diri dari peredaran a.k.a menghilang. Kemudian kemarin saya bertemu dengannya untuk menghadiri acara lamarannya. Kami pun bercerita banyak, terutama tentangnya empat tahun terakhir.

Tidak dipungkiri, hati sahabat saya tidak lagi memproduksi rasa. Bahkan ketika memutuskan untuk berpacaran dengan lelaki (yang baru saja melamarnya kemarin), sahabat saya tidak memiliki rasa apapun terhadap lelaki tersebut.

Sahabat Saya yang Hilang (SSH): “ Dia yang ngajakin pacaran. Lagipula lumayan juga, ada temen ngobrol, crita, maen. Kebutuhan aja. Tapi hati, ga ada rasa waktu itu.”
Saya (S): “Trus butuh waktu berapa lama sampai muncul rasa?”
SSH: “Delapan bulan. Pas dia dateng ke rumah buat lebaran. Di situlah aku ngliat dia srius sama aku. Dia, yang belum pernah menikah, seumur denganku, mau sama aku, janda anak satu.”

Ternyata, selama delapan bulan di awal mereka berpacaran, sahabat saya tidak memiliki rasa, bukan karena sahabat saya tidak menyukai lelaki yang menjadi calon suaminya saat ini, tetapi sahabat saya MEMANG menutup rasa itu karena rasa tidak percaya diri terhadap statusnya janda anak satu. Pemikiran bahwa “Ga mungkin lah dia srius sama aku, paling juga cuma buat maen-maen aja,” atau “Lelaki, kalo macarin janda, ya paling begitu-begitu aja tujuannya. Toh, aku juga butuh, asas manfaat aja lah,” kerap datang di benak sahabat saya saat itu. Jadi, sampailah pada sebuah keputusan, sahabat saya tidak menggunakan hati selama awal masa pacarannya untuk meminimalkan sakit hati kalau-kalau hubungannya berakhir. Saya tergelitik dengan cerita sahabat saya. Bukan apa-apa, saya sedang berada di fase yang sama seperti sahabat saya dulu. Sedang menutup hati untuk meminimalkan sakit hati.

Saya memiliki kecenderungan dekat dengan lelaki-lelaki yang masuk dalam kategori Bad Guy. Ya jelas lah, hubungan-hubungan yang saya jalani dengan para lelaki tersebut pastinya porak-poranda tak bersisa. Hal yang dari dulu berusaha saya cari latarbelakangnya namun belum juga ketemu sampai saya berbincang dengan sahabat saya, MENGAPA SAYA SERINGNYA BERHUBUNGAN DENGAN PARA BAD GUY????  Ternyata oh ternyata, ada kaitannya dengan masa lalu saya. Masa lalu saya bukanlah masa lalu yang bisa diterima dengan mudah oleh para lelaki terutama lelaki dengan latar belakang lurus-lurus saja. Lha seringnya, lelaki-lelaki brengsek saja kadang kalau cari istri sok-sokan cuma mau sama perempuan baik-baik. Apalagi lelaki yang baik-baik saja hidupnya, ya wajar kalau mencari istri yang minimal sama baiknya lah dengan mereka. Taruhlah contoh, ya kaya kasus twitter seorang motivator tempo hari itu (saya lupa isi pasti twitternya): “Perempuan yang merokok, suka dunia malam, chit chat snob, bukan kriteria istri yang baik.” Kalau seorang motivator kondang yang harusnya netral saja bersikap seperti itu, apalagi para lelaki yang bukan motivator dan tidak kondang. Pastilah sebelas duabelas pikiran mereka dengan motivator tersebut tentang perempuan yang ideal sebagai calon istri. Terjadilah proses labeling yang subyektif. Daripada nanti berhubungan dengan lelaki baik-baik yang memunculkan kecenderungan untuk bermasalah dengan masa lalu saya, ya lelaki brengsek tampak lebih masuk akal. Pemikiran simpel, sederhana (tapi sangat merusak).


Teman saya pernah menanyakan mau sampai kapan saya akan mbulet dengan pola saya. Dan saya tidak pernah bisa menjawabnya. Bukan saya tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki tepat dan baik hati yang mau menerima saya apa adanya.  Saya mau. Teramat mau. Dulu pernah saya coba. Saya berhubungan dengan seorang yang lurus-lurus saja hidupnya. Baik sepertinya. Ketika saya sudah merasa dekat, mulai percaya padanya, mulai menggunakan hati, saya ceritakanlah padanya masa lalu saya. Dan, lelaki itu pun pergi begitu saja. Sakit hati lagi saya. Ya akhirnya ya begini-begini ini saya. Cari cara aman untuk tidak sakit hati, dengan sendiri saja (walaupun kesendirian itu luar biasa menyiksa saya, tapi kalau dibandingkan dengan berpasangan dan memiliki kemungkinan besar untuk sakit hati parah, saya milih sendiri dulu ajah..zona aman, huh..). Daaaaaaaaaan, lebih baik juga saya sendiri daripada saya nanti nyantol lagi sama lelaki-lelaki brengsek. Bodo lah orang bilang, “Ya ampuuun, mbak. Uda umur berapa..” Preeeeeeeeet..

Saya hanya akan menunggu lelaki yang tepat saja kalau begitu. Yang baik hati dan tidak sombong. Yang mau menerima saya apa adanya. Yang berpikir sejuta kali untuk menyakiti hati saya. Yang open mind. Yang nanti akan datang untuk membuka kembali hati saya. Dan tentunya yang bisa betah sama rewelnya saya.

(sebuah tulisan sebagai imbas PMS)

5.10.2010

Jogjakarta

Saya meninggalkan Jogja. Kota dimana saya menghabiskan empat tahun terakhir kehidupan saya. Dimulai dari sebuah bencana berskala nasional yang penuh air mata hingga seremonial wisuda paska sarjana yang gegap gempita. Empat tahun menorehkan begitu banyak cerita. Menyenangkan, menyedihkan, menggembirakan, menyebalkan hingga yang tak terdefinisikan. Mulai dari banyak duit, bergaya hura-hura hingga kejadian ngesot tanpa uang sepeserpun di dompet, dibelain ngutang dan menjual diri hingga Cilacap. Diawali dengan Marlboro Light Menthol, Lucky Strike Menthol, Avolution Menthol dan pada akhirnya cukup dengan Xylithol.

Jogja. Kota kecil yang sekarang sumpah-sumpah penuh sesaknya. Kota yang kabarnya terkenal dengan biaya hidupnya yang rendah (walaupun itu tidak berlaku juga bagi saya, mengingat defisit sering menghampiri saya di akhir bulan). Warung kopi dengan akses internet yang oke dan harga terjangkau. Kota dengan akses rata-rata 15 menit ke segala penjuru kota (ingat, penjuru kota, bukan kabupaten). Kesenian yang merakyat dan mudah ditemui di banyak tempat. Mulai dari pasar malam sampai pameran lukisan bernilai puluhan juta. Kebebasan berekspresi yang seolah-olah enggan untuk terbatasi oleh norma. Dari pasangan lawan jenis hingga yang sejenis. Ini Jogja (yang sepertinya milik) saya.

Jogja. Dimana persahabatan terjalin di antara teman-teman yang saya tidak perhitungkan sebelumnya. Teman-teman yang (mereka bilang) saya acuhkan. Teman-teman yang ada ketika saya membutuhkannya. Teman-teman yang dengan sukarela menerima saya menonton televisi dengan tidak tahu dirinya di kamar mereka. Belum lagi ketika saya menjarah ransum yang ada di lemari mereka. Teman-teman yang dengan terbuka menerima teriakan-teriakan absen saya yang ga penting. Teman-teman yang jadi jujugan ketika dompet kosong mlompong. “Pinjem si duitnya dulu buat bli makan.” Teman-teman yang sangat membantu saya melupakan sejenak kegelisahan saya terkait dengan pekerjaan, jodoh dan usia (karena mereka masih belum ke situ pikirannya..hehehehehehe..). Teman-teman kecil saya yang saya rindukan.

Jogja. Ketika Universitas Gadjah Mada menjadi momok bagi saya (setelah kegagalan saya menembus UI, saya jadi traumatis dengan universitas negeri). Ketidaksesuaian nilai yang saya anut dengan nilai yang berlaku di kampus. Keraguan saya akan kemampuan saya berjuang menyelesaikan studi. Pengkhianatan dan kemunafikan yang menjadi menu standar dalam lingkup pergaulan yang orang bilang dunia kaum cendekia. Hingga penemuan teman yang sebenarnya. Teman-teman yang tidak harus bersama setiap hari namun ada di hati setiap waktu. Teman-teman yang menemani saya ketika akhirnya air mata itu datang kembali. Pelukan yang mampu memberikan semangat. Omelan yang termaknai sebagai perwujudan rasa sayang.

Jogja. Dimana saya belajar bahwa cinta tidak selamanya bisa memiliki. Dimana rasa sayang mampu bersifat satu arah. Dimana ada permusuhan yang seolah enggan saya akhiri. Dimana kebencian dan rindu bersahabat. Dimana saya perlu belajar banyak untuk menstabilkan emosi saya.

Dan inilah Jogja. Kota yang akan selalu memiliki tempat tersendiri di hati saya. Kota yang sangat bermakna bagi saya.










http://devry.wordpress.com


;;