5.10.2010

Jogjakarta

Saya meninggalkan Jogja. Kota dimana saya menghabiskan empat tahun terakhir kehidupan saya. Dimulai dari sebuah bencana berskala nasional yang penuh air mata hingga seremonial wisuda paska sarjana yang gegap gempita. Empat tahun menorehkan begitu banyak cerita. Menyenangkan, menyedihkan, menggembirakan, menyebalkan hingga yang tak terdefinisikan. Mulai dari banyak duit, bergaya hura-hura hingga kejadian ngesot tanpa uang sepeserpun di dompet, dibelain ngutang dan menjual diri hingga Cilacap. Diawali dengan Marlboro Light Menthol, Lucky Strike Menthol, Avolution Menthol dan pada akhirnya cukup dengan Xylithol.

Jogja. Kota kecil yang sekarang sumpah-sumpah penuh sesaknya. Kota yang kabarnya terkenal dengan biaya hidupnya yang rendah (walaupun itu tidak berlaku juga bagi saya, mengingat defisit sering menghampiri saya di akhir bulan). Warung kopi dengan akses internet yang oke dan harga terjangkau. Kota dengan akses rata-rata 15 menit ke segala penjuru kota (ingat, penjuru kota, bukan kabupaten). Kesenian yang merakyat dan mudah ditemui di banyak tempat. Mulai dari pasar malam sampai pameran lukisan bernilai puluhan juta. Kebebasan berekspresi yang seolah-olah enggan untuk terbatasi oleh norma. Dari pasangan lawan jenis hingga yang sejenis. Ini Jogja (yang sepertinya milik) saya.

Jogja. Dimana persahabatan terjalin di antara teman-teman yang saya tidak perhitungkan sebelumnya. Teman-teman yang (mereka bilang) saya acuhkan. Teman-teman yang ada ketika saya membutuhkannya. Teman-teman yang dengan sukarela menerima saya menonton televisi dengan tidak tahu dirinya di kamar mereka. Belum lagi ketika saya menjarah ransum yang ada di lemari mereka. Teman-teman yang dengan terbuka menerima teriakan-teriakan absen saya yang ga penting. Teman-teman yang jadi jujugan ketika dompet kosong mlompong. “Pinjem si duitnya dulu buat bli makan.” Teman-teman yang sangat membantu saya melupakan sejenak kegelisahan saya terkait dengan pekerjaan, jodoh dan usia (karena mereka masih belum ke situ pikirannya..hehehehehehe..). Teman-teman kecil saya yang saya rindukan.

Jogja. Ketika Universitas Gadjah Mada menjadi momok bagi saya (setelah kegagalan saya menembus UI, saya jadi traumatis dengan universitas negeri). Ketidaksesuaian nilai yang saya anut dengan nilai yang berlaku di kampus. Keraguan saya akan kemampuan saya berjuang menyelesaikan studi. Pengkhianatan dan kemunafikan yang menjadi menu standar dalam lingkup pergaulan yang orang bilang dunia kaum cendekia. Hingga penemuan teman yang sebenarnya. Teman-teman yang tidak harus bersama setiap hari namun ada di hati setiap waktu. Teman-teman yang menemani saya ketika akhirnya air mata itu datang kembali. Pelukan yang mampu memberikan semangat. Omelan yang termaknai sebagai perwujudan rasa sayang.

Jogja. Dimana saya belajar bahwa cinta tidak selamanya bisa memiliki. Dimana rasa sayang mampu bersifat satu arah. Dimana ada permusuhan yang seolah enggan saya akhiri. Dimana kebencian dan rindu bersahabat. Dimana saya perlu belajar banyak untuk menstabilkan emosi saya.

Dan inilah Jogja. Kota yang akan selalu memiliki tempat tersendiri di hati saya. Kota yang sangat bermakna bagi saya.










http://devry.wordpress.com


5 komentar:

Anonim mengatakan...

everlasting town i think..
Jogja seribu rasa sejuta makna...

kalo reunian ntar disini ya mb..
hehehe...

Anonim mengatakan...

saya pernah bikin tulisan serupa seminggu setelah memulai perantauan di jakarta (tapi saya lupa posting di mana :D)..mungkin banyak juga orang yang meninggalkan jogja punya kesan yang mirip-mirip-dengan-ini ya...

Jeng Toet mengatakan...

to anonim:
Sepertinya saya tahu dimana anda memposting tulisan itu..di FS..

Unsinkable Soul mengatakan...

miss you so much...
we must have reunian someday...

mizah mengatakan...

kak, nangis aku baca ini (spt biasa...hehehe)...aku juga pasti akan merindukan jogja setelah ku tinggalkan kota ini beberapa tahun lagi...

Posting Komentar