10.20.2009



Seorang teman laki-laki saya mengatakan bahwa sejak ia melepas keperjakaan,hanya sekali ia melakukan apa yang disebut MAKING LOVE selebihnya adalah HAVING SEX semata. Saya tanyakan apa beda antara dua hal tersebut. Dia mengatakan bahwa bedanya adalah di masalah rasa. Having sex tidak menggunakan rasa suka,sayang apalagi cinta. Kalau making love,minimal ada lah rasa suka yang terlibat. Teman saya tersebut melepas keperjakaannya bukan karena adanya unsur suka,sayang ataupun cinta. Ia melepas keperjakaannya hanya sebagai taruhan saja. Selanjutnya,aktivitas seksual sang teman pun berlangsung begitu bebasnya. Berganti-ganti pasangan bukan hal yang aneh buat teman saya tersebut. Prinsipnya selalu sama,tanpa menggunakan rasa. Namun pada akhirnya,sang teman pun kena batunya. Ia jatuh cinta pada seorang wanita,yang malangnya tidak dapat ia miliki. Cerita punya cerita,wanita idaman sang teman pun harus pergi. Dan menurut sang teman,baru sekali itu ia melakukan apa yang disebut make love. Dengan wanita tersebut sebelum mereka berpisah. Hanya sekali seumur hidup teman saya itu,hingga saat ini!

Menurut sebuah buku yang saya baca,Why Men Doesn't Listen and Women Can't Read Map,hubungan seksual tanpa rasa yang dikenal dengan have sex merupakan hal yang mudah untuk dilakukan oleh seorang lelaki. Ada bagian tertentu dari otak lelaki yang mengaturnya. Kalau seorang lelaki melakukan hubungan seksual dengan wanita lain yang bukan pasangannya,bukan berarti lelaki tersebut sedang bermasalah dengan pasangannya atau tidak memiliki rasa lagi terhadap pasangannya. Lelaki tersebut hanya sedang membutuhkan partner untuk menyalurkan hasrat biologisnya. Merupakan hal yang wajar jika ternyata pelaku one night standing hampir sebagian besar adalah lelaki. Setelah melakukan hubungan seksual,dengan mudahnya mereka menganggap bahwa seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Bahkan mereka bisa dengan mudahnya hilang dari muka bumi begitu saja.

Saya sering dibuat jengkel dengan kisah-kisah seperti itu. Tidak sedikit teman wanita saya yang curhat dan nangis-nangis karena lelaki yang tidur bersama mereka semalam tiba-tiba tidak bisa dihubungi lagi dan tidak pernah memberi kabar. Belum lagi kisah tentang kasus bunuh diri karena keperawanan hilang dan kemudian mereka ditinggalkan. Sepertinya kata-kata cinta yang manis cuma berlaku hingga keperawanan terenggut. Sebenarnya,saya jengkel bukan kepada lelaki-lelaki yang ada. Saya lebih jengkel pada wanita-wanita tersebut.

Buat apa menangisi lelaki hanya karena kita pernah tidur dengan mereka dan kemudian mereka hilang..?? Buat apa menangis hanya karena sudah tidak perawan lagi dan kemudian kita ditinggalkan..?? Buat apa menangis hanya karena keperawanan kita hilang dan kemudian kita menjadi kehilangan harga diri..?? Tidak ada gunanya semua tangis dan air mata apalagi sampai bunuh diri.

Ketika saya memutuskan untuk melepas keperawanan saya,saya hanya bertekad saya akan melepaskannya karena saya ingin. Saya tidak pernah berpikir saya akan melepas keperawanan saya untuk memenuhi keinginan pasangan saya. Kalaupun saya kemudian ditinggalkan oleh pasangan saya, masa bodoh. Dunia saya tidak akan berakhir hanya karena saya sudah tidak perawan lagi.

Bercinta memiliki nilai seni bagi saya. Seni haruslah dilandasi dengan feeling. Karena menggunakan feeling, maka bercinta haruslah dengan orang yang berarti bagi saya. Karena orang yang berarti bagi saya mampu memunculkan feeling yang diperlukan dalam bercinta. Berputar-putar mungkin, tetapi itu yang saya yakini.

Saya menyukai di mana ada bisikan-bisikan sayang ketika melakukannya. Dan hal tersebut hanya saya dapatkan ketika bercinta karena saya tidak menyukai bisikan-bisikan sayang yang bersifat sebagai pemanis yang biasa didapatkan ketika orang hanya sekedar ngeseks. Memang idealis, tetapi itu yang saya lakukan.

Bercinta selalu menjadi aktivitas yang menyenangkan bagi saya. Bercinta selalu memberi keceriaan bagi saya. Bercinta menjadi ecstasy bagi saya. Efek euforianya everlasting dan itu  bermanfaat sekali bagi saya. Dan saya yakin saya tidak mendapatkannya kalau saya hanya sekedar ngeseks.

My Life's So Great

Dari sebuah email yang saya terima:

Life is short..
 
Break the rules..
 
forgive quickly..
 
 love truly..
 
laugh constantly..
 
And never stop smiling..
 
no matter how strange life is..
 
Life is not always the party we expected to be..
 
but as long as we are here, we should smile and be grateful..




Anti Trust

Jogja luar biasa panasnya. Sangat mampu untuk membuat orang-orang di sekitar saya mengalami hiperemosi (istilah baru dari hasil ngobrol di warung kopi). Dan saya? Cuaca panas Jogja yang menggila hanya mampu membuat saya setengah bugil ketika menulis catatan kecil ini.

Dua hari lalu, saya bertemu dengan teman-teman lama. Ngobrol panjang lebar di sebuah warung kopi yang agak sedikit elit lah dengan menu-menu luar negeri. Salah seorang teman lama menginspirasi tulisan saya ini. Karena masalah etika, saya meminta ijin untuk menulis tentang dirinya. Berbicara tentang etika, ternyata masa-masa akhir saya sebagai seorang mahasiswa memberi saya sebuah pelajaran tentang hal itu. Hmmmm..orangtua saya pasti bangga kalau tahu anaknya sudah mulai beretika. Dan teman-teman saya juga tidak akan malu tentunya jika berjalan bersama saya, karena saya setidaknya sudah cukup tahu tata krama. Hohohohohohohoho..

Kembali pada teman saya tadi, apa yang menarik dari dirinya yang mengilhami saya menulis? Tentang masalah kepercayaan. Begitu sulit bagi teman saya untuk percaya pada orang lain. Masa lalunya dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan tentang hal percaya mempercayai. Pengkhianatan, kebohongan, kemunafikan dan parasitisme rupanya datang silih berganti dalam kehidupannya. Hingga sebuah istilah tentang dia masuk ke telinga saya, anti trust .

Ketika saya pulang, saya berpikir tentang diri saya. Sepertinya saya mengalami hal serupa, dengan spesifikasi hanya kepada lelaki. Bahkan pada tahap tertentu, saya menjadi paranoid. Jelas lah tidak kepada semua lelaki. Kalau teman saya bilang hanya kepada lelaki yang berpotensi untuk menjalin komitmen dengan saya. Ada benarnya apa yang dibilang teman saya, mengingat bahwa kecenderungan saya akhir-akhir ini adalah selalu saja tergila-gila pada lelaki yang jelas-jelas tidak akan memiliki masa depan dengan saya. Misalnya, lelaki yang jarak usianya terpaut jauh dengan saya, jauh di atas maupun jauh di bawah saya. Atau menyukai lelaki yang already taken. Atau lelaki yang jelas-jelas tidak menyukai saya (kalau yang ini, memang agak-agak kebangetan sayanya, update terus berita tentang dia dan bertekad menjadi penggemar rahasia selamanya). Giliran bertemu dengan lelaki yang mungkin berprospek menjadi pasangan saya, adrenalinnya tidak terpacu (boong banget si sebenernya, belum pernah ketemu faktanya, biasa, efek dramatis buat tulisan ini..hihihihihi..)

Darimana anti trust itu muncul coba? Ya jelas lah dari yang namanya p.e.n.g.a.l.a.m.a.n. Luar biasa efeknya. Di buku-buku bule dibilang: Hal tidak menyenangkan direspon sebagai hal yang sebaiknya tidak perlu diulangi lagi. Gampang, tapi susah penerapannya. Ambil lah contoh, saya jatuh cinta, berpacaran, dikhianati. Kalau mengikuti teori, pengalaman jatuh cinta saya tidak menyenangkan, lha berakhir dengan pengkhianatan, jadi sebaiknya tidak perlu diulangi lagi. Tapi ya jelas laaaaah ga mungkin. Mau mati sinting apa saya berhenti jatuh cinta? Saya bertekad, akan kembali jatuh cinta dengan catatan tidak perlu dibumbui pengkhianatan. Jatuh cinta lah saya yang kedua, pacaran, tidak dikhianati, tetapi dibohongi. Pacar sudah punya pacar di negeri seberang. Weeeeeitttttsss, sempurna. Berhentikah saya jatuh cinta? Sangat sinting kalau hanya karena dibohongi saya memutuskan berhenti jatuh cinta dan berhenti pacaran. Jatuh cinta lagi, pacaran lagi. Dengan target: no pengkhianatan, no dibohongi. Ternyata, pacar saya hanya numpang popularitas biar terkenal. Siapa gitu kan yang ga kenal saya, penulis masa depan, pengganti Dewi Lestari. Dan akhirnya saya pun lelah, bukan lelah jatuh cinta (karena bagi saya, cinta masih memberikan sensasi t.e.r.s.e.n.d.i.r.i yang terkadang bisa membuat saya o.r.g.a.s.m.e), tetapi lelah pada komitmen. Bahkan meragukan sebuah komitmen.

Saya yakin saya tidak sendiri. Banyak dari Anda mengalami masalah serupa dengan saya. Mungkin tidak terkait dengan masalah cinta, tetapi masalah yang lain. Muncul sebuah keraguan dalam diri yang berujung pada sebuah ketidakpercayaan terhadap suatu hal. Ketidakpercayaan terhadap teman, orangtua bahkan pada diri sendiri akibat pengalaman tidak menyenangkan yang berulangkali yang dialami. Apakah masalah ketidakpercayaan itu jelek? Siapa bilang itu jelek? Justru, ketidakpercayaan membuat kita lebih waspada, berhati-hati dalam bertindak, bersikap selektif. See, tidak jelek bukan? Baik-baik saja ini. Hanya, pada kadar tertentu, ketidakpercayaan benar-benar sangat merusak.

Menurut saya, ketidakpercayaan tersebut masuk dalam kategori merusak, diantaranya bila:
1. Kita merasa orang lain tidak bisa melakukan sebaik apa yang biasa kita lakukan atau sebaliknya.
2. Kita (sering) merasa kesepian (dan sendiri) di tengah keramaian.
Dan kalau ketidakpercayaan masuk pada level destruktif, jelas cuma memberikan kerugian. Lelahnya luar biasa. Seperti saya, lelah sangat saya dijangkiti penyakit paranoid pada komitmen dengan lelaki yang membuat saya tidak berhenti menganalisa, yang buntut-buntutnya cuma mengeluarkan pemikiran: "Jangan jangan dia begitu, jangan jangan dia begini."

Dalam keletihan tersebut, saya berpikir (mungkin tidak seorang yang sedang letih, berpikir, dan pemikirannya itu valid? hohohohohohohoho, hanya saya yang bisa lakukan itu..) bahwa tidak ada gunanya mempertahankan sebuah hal yang jelas-jelas destruktif, diantaranya paranoid saya yang agak berlebihan. Bayangkan, betapa capeknya saya terus menganalisa dan menghasilkan pemikiran negatif tentang komitmen dan lelaki. Mau jadi psikolog model apa saya kalau terus begitu? Psikolog sinting mungkin (tapi gaya). Apa yang bisa saya banggakan ketika saya berbicara di hadapan berjuta-juta orang tentang komitmen tetapi jauh di lubuk hati, saya menghujat komitmen itu sendiri? Saya hanya sedang melakukan kemunafikan yang pada akhirnya semakin meningkatkan level destruktif diri akibat ketidakpercayaan yang saya alami. Terus, terus dan akhirnya saya mati merana karena ketidakpercayaan. Oh, no, no, no..saya tidak mau seperti itu. Buat apa saya susah-susah hidup sekian puluh tahun dan mati hanya karena sebuah paranoid berlebihan sebagai akibat ketidakpercayaan yang tidak bisa saya kendalikan. Sinting kalau itu terjadi pada saya. Sangat sinting bahkan.

Ketidakpercayaan itu untuk diatasi, bukan dipelihara dan dibesarkan, dipupuk ataupun dirawat. Ketidakpercayaan itu seperti obat, pada dosis tertentu, dia mampu menyembuhkan, namun lebih dari dosisnya, dia akan mematikan. Sama halnya seperti obat, ketidakpercayaan memiliki rasa yang tidak enak, hanya pahit. Konsumsilah hanya dengan resep dokter .




I need status, please..

Status: Single

sepertinya tampak tidak sehebat

Status: In relationship, Enganged atau Married

Teman saya yang single, beberapa waktu lalu, giat mengubah status single'nya itu menjadi in relationship. Dan tidak lama, statusnya pun berganti a.k.a sudah memiliki pasangan saat ini. Meskipun ternyata pasangannya kini cukup dan mungkin membuatnya pusing dan kerepotan, dan mungkin juga agak memaksa teman saya itu menjadi bukan dirinya, rupanya teman saya lebih mempertahankan status barunya yang in relationship. Dia bilang, status barunya membuat rasa percaya dirinya meningkat.

Teman saya yang lain, status: enganged. Namun hubungan dengan tunangan tidak berjalan lancar. Seringkali sang tunangan melakukan kekerasan verbal yang berujung pada hujan air mata di wajah teman saya itu. Tetapi teman saya bertahan, karena beban mental katanya apabila menyandang status baru: putus tunang. Jadi ini yang saya katakan pada teman saya itu ketika dia menangis (lagi) menceritakan kekerasan verbal yang dilakukan tunangannya:
"Ini masalah pilihan, kamu memilih untuk mempertahankan status itu. Take the risks then."

Dan saya, status single melekat pada diri saya satu tahun belakangan ini. Dorongan untuk mengubah status tersebut sangat besar. Saya merindukan status saya yang memiliki pasangan. Namun, saat gelombang sadar menghampiri saya, status single sepertinya terlalu sayang untuk saya tinggalkan.

Why being single is so lovely?
1. Saya berkuasa penuh atas diri saya. Bebas menentukan hari ini mau kemana, mau makan apa, dengan siapa, pulang jam berapa.
2. Saya tidak dipusingkan dengan masalah kecemburuan yang membabi buta, godaan perselingkuhan atau ketakutan bahwa pasangan selingkuh.

Tapi..ini lah beberapa alasan mengapa seringkali saya mengalami dorongan yang begitu besar untuk upgrade status menjadi in relationship:
1. Saya merindukan sms atau telepon mesra dari pasangan.
2. Saya merindukan masa-masa dimana saya bisa mendapatkan pelukan disertai kata-kata "I love you".
3. Saya merindukan perhatian dari pasangan, "Uda makan belum..?" atau "Jangan tidur terlalu larut malam ini, besok kegiatanmu padat. Jaga kondisi."
4. Saya merindukan teman berbagi yang memang memiliki waktu khusus untuk berbincang dengan saya, mendengarkan keluh kesah saya, di kala teman-teman saya sibuk dengan kegiatan masing-masing.
5. Saya merindukan membeli man's stuff dan memberikannya pada pasangan.
Alasan yang remeh sepertinya, tapi cukup membantu saya mengenali kebutuhan atau keinginan diri saya.

Beberapa kali saya berbincang dengan diri saya sendiri, apakah keinginan saya untuk meningkatkan status dari single menjadi in relationship itu murni karena kebutuhan atau keinginan? Dan jawabannya pun beragam. Hari ini diri saya menjawab kebutuhan, esok jawabnya keinginan, lusa berbeda lagi. Jawaban beragam pun akan saya dapatkan ketika saya bertanya pada teman-teman saya tentang apa alasan yang melatarbelakangi status mereka saat ini. Dan itu merupakan hak pribadi mereka.

Setiap orang memiliki kebebasan sepenuhnya untuk memilih status apapun yang hendak mereka sandang. Hanya saja tidak setiap orang memahami betul dan siap sepenuhnya dengan semua konsekuensi yang harus mereka hadapi akibat status yang melekat pada diri mereka. Semakin banyak status yang disandang, semakin banyak pula konsekuensi yang dihadapi.

Idealnya memang setiap orang siap menanggung semua dampak dari apa yang mereka pilih, begitu juga dengan status. Sayangnya kita hidup di dunia yang jauh dari sebuah kondisi ideal. Orang memilih status yang (tampak) bagus bagi orang lain, namun menghujat konsekuensi yang harus dihadapi. Begitu juga saya, berusaha konsekuen dengan apa yang telah saya pilih, bukan hal yang mudah. Now, I enjoy being single, tomorrow I'll hate being single. Dan akan berbeda lagi esok lusa.

Semua orang (sepertinya) membutuhkan generator untuk terselenggaranya sebuah status. Besar kecilnya status, ditentukan dari generatornya. Semakin besar generatornya, biasanya statusnya (bisa) semakin tinggi. Jadi, bagi Anda dan juga saya, kalau menginginkan status yang wah, belilah generator yang besar. Kalau dana terbatas, ya janganlah berharap memiliki status tinggi tersebut dalam waktu dekat. Hanya mencari mati saja. Percayalah..

10.11.2009

A Guy with Smell of Tobacco


Saya jatuh cinta.

Seorang teman yang saya abaikan keberadaannya sepuluh tahun lalu. Seorang yang saat ini menjelma menjadi seorang lelaki yang ternyata membuat saya sinting setiap kali saya memandangnya. Teman-teman saya mengatakan bahwa dia cukup menarik. Tipe yang rebel-rebel gitu deh, tapi memiliki hati yang lembut sepertinya.

Saya tidak tahu apa-apa tentang dia. Kapan dia berulangtahun. Apa yang menjadi hobinya. Apa saja kebiasaannya. Siapa gadis yang pernah mengisi hatinya. Bahkan saya tidak tahu dimana dia tinggal. Saya hanya tahu bahwa dia mempesona diri saya saat ini. Saya mengenalnya, begitu pula dengannya. Saya sesekali berbicara atau saling mengirim pesan singkat, namun itu hanya untuk urusan yang sangat jauh dari masalah hati dan rasa.

Saya ingin memeluknya dan menghirup dalam-dalam aroma tubuhnya yang khas, perpaduan antara aroma tubuh, parfum dan tembakau. Entah lah, saya menyukai aroma tembakau yang menempel di tubuh lelaki. Tampak seperti lelaki sejati.

Teman saya mengatakan, mulai lah pendekatan terlebih dahulu. Tunjukkan bahwa saya peduli padanya. Jelas hal tersebut akan sulit untuk saya lakukan karena saya sama sekali tidak memiliki keberanian. Jelas, saya meragukan kemampuan saya sendiri untuk itu. Dan sangat jelas alasannya, SAYA TIDAK PERCAYA DIRI.

Shit, saya merindukannya..namun terlalu takut untuk bertemu dengannya. Saya takut terlihat olehnya bahwa saya merindunya. Saya takut terlihat olehnya bahwa saya mencintanya. Seorang teman berkata bahwa hak saya sepenuhnya untuk menunjukkan perasaan saya, mengapa harus menutupinya. Saya ingin bisa lakukan itu, tapi masalahnya, apakah dia akan mampu bersikap seperti biasa ketika dia mengetahui semua rasa saya padanya? Apakah dia akan tetap menemani saya ketika saya membutuhkan teman ngopi sembari berbincang? Saya tidak yakin dia akan tetap sama bila dia tahu rasa yang saya punya.

Saya memujanya dengan sepenuh hati.

10.10.2009

Take a break for a while from typing something that really fucking boring thing.. Wanna write something seriously..

Tentang para pria di sekitar saya. Dengan tampilan berbeda namun pada dasarnya memiliki kemiripan satu dengan lainnya.

Pria Pertama
Mengisi hati saya selama dua tahun. Saya meletakkan hampir separuh hati saya padanya. Tanpa saya sadari, saya menjadi seseorang yang lebih baik dengan kehadirannya. Namun tidak saya pungkiri, kepergiannya, menjadikan saya masuk lebih dalam ke sebuah dunia yang disebut paranoid.

Pria Kedua
Menjadi seorang yang spesial bagi seorang teman baik saya, bahkan telah resmi bertunangan. Tanpa pengalaman percintaan sama sekali hingga dia bertemu teman saya tersebut. Memendam rasa terhadap teman saya selama sekian tahun, bahkan merelakan teman saya menjadi pacar sahabatnya sebelum akhirnya menjadi tunangannya.

Pria Ketiga
Seorang teman yang sebenarnya saya tidak terlalu mengenalnya tapi saya sok tahu tentang dirinya. Seseorang yang setahu saya tidak banyak berbicara dan terkadang menjadi bayangan orang lain yang sepertinya lebih punya kekuatan untuk bicara. Seseorang yang memiliki pandangan ke depan namun seringkali kesulitan untuk merealisasikan pandangan tersebut.

Pria Keempat
Seorang teman juga, hanya saja saya sedikit lebih punya kesempatan mengenalnya. Supel, cukup populer. I think he's good looking enough. Menyenangkan, dan cukup membuat saya nyaman berbicara dengannya. Penyuka musik yang kurang nyaman di telinga saya.

Mereka berbeda secara fisik, latar belakang keluarga dan budaya, pendidikan, ekonomi, pekerjaan, minat dan banyak hal lainnya. Tapi saya melihat kesamaan yang cukup dominan dalam diri mereka, yang sepertinya menjadi suatu hal yang mereka tutupi dengan sepenuh hati, rasa tidak percaya diri, introvert dan sensitif.

Pengalaman tidak menyenangkan di masa lalu mungkin menjadi salah satu dari sekian banyak alasan yang menyebabkan mereka seringkali merasa minder dengan apa yang mereka lakukan. Merasa bahwa orang lain lebih mampu dari mereka. Berpikir bahwa perjuangan hidup terasa begitu berat sehingga tidak berani masuk pada level kehidupan yang lebih tinggi lagi. Memasang target yang berada pada batas normal-normal saja seperti orang pada umumnya. Namun menyukai sesuatu yang rebel.

Introvert. Mereka setipe. Pasang tampang garang, acuh, tak peduli, namun sebenarnya mereka memasukkannya semua ke dalam hati. Seperti tak melihat, namun mengamati dengan cukup dalam. Tak mau tahu, tapi mendengarkan dengan seksama. Memasukkan semua proses ke dalam otak. Mengolahnya, menciptakan begitu banyak pertanyaan, menyimpannya dalam hati, dan akhirnya menjawabnya sendiri. Lebih senang menyimpannya sendiri alih-alih berbagi dengan orang lain. Bermain dengan pikirannya sendiri. Tampak tenang, mati rasa, datar namun bergejolak di dalam.

Sensitif. Sangat mudah tersakiti. Namun bertahan dengan sepenuh daya untuk tampil tangguh. Kegagalan merupakan suatu kejadian yang traumatis bagi mereka, namun berusaha untuk tidak menunjukkannya pada orang lain. Sangat tidak mudah membuat mereka mempercayai orang lain. Sensitifitas mereka yang cukup tinggi membuat mereka memasang tembok tebal untuk urusan emosional. Mereka menyadari bahwa setiap orang memiliki peluang sama besar untuk menyakiti hati mereka. Kepercayaan merupakan suatu hal yang sakral bagi mereka. Hanya orang terpilih yang bisa mendapatkan kepercayaan mereka. Dan itu membutuhkan waktu yang tidak sebentar.

Terlepas dari itu semua, saya melihat sebuah potensi yang luar biasa besar dari dalam diri mereka untuk melakukan sebuah gebrakan besar. Mereka semua pemikir hebat. Memiliki cukup banyak waktu untuk menganalisa. Hanya saja mereka tidak menyadarinya. Sepertinya, butuh booster dengan kekuatan superbesar untuk mengeluarkan semua kelebihan diri yang terpendam cukup lama dan pada akhirnya terlalu dalam untuk digali.

Saya mungkin sok tahu menuliskan ini, tapi entah mengapa, saya begitu yakin dengan potensi yang mereka miliki. Sayangnya, tembok yang menutupi potensi tersebut terlalu tebal untuk dihancurkan.

Totally 100% Sinting

Apalagi coba yang mau saya tulis. Sial, saya mati bosan di kos. Malam minggu, pengen keluar, tapi banyak tanggungan. Ga keluar, sial, kos sepi bener. Ngerjain tanggungan, belum dapet panggilan. Ditambah lagi Jogja sinting banget panasnya. Paket komplit dan tepat untuk mengeluh, komplen, memaki, merutuk, menghujat. Susah sekali saya buat konsentrasi pada satu hal. Apa kek. Misalnya mo nonton tipi, uda lah fokus nonton tipi aja. Ga usah naek turun ga jelas. Ato kalo mo ngerjain tugas, ya tugas aja dikerjain, jangan sebentar-sebentar keluar kamar, naek turun juga. Tidak bisa konsentrasi lebih dari 15 menit saja.

Kalo lagi otak kopyor kaya gini, bisa dipastikan, pikirannya mengelana kemana-mana. Contohnya ini, saya tiba-tiba teringat dengan obrolan waktu reuni SMA kemarin. Saya baru tau kalo ternyata nama saya tercemar selama 10 tahun tanpa saya sadari. Jadi begini lah ceritanya:

Seorang yang tidak bertanggungjawab, menggunakan nama saya untuk mengejar-ngejar seorang lelaki yang notabene temen SMA saya. Ngomong apa aja saya juga ga ngerti. Intinya, perempuan laknat itu menyatakan cinta pada teman SMA saya menggunakan nama saya! Sinting! Ditolak katanya sama teman SMA saya itu. Eh, kok ya ga brenti juga tu perempuan. Dia mendekati adek teman SMA saya, mengejar-ngejar dan menyatakan cinta. Sialaaaaaann..!!! Dan sumpah, saya bener-bener ga tau kalo nama saya disalahgunakan oleh si perempuan iblis itu. Saya baru tau ya pas reuni itu. Langsung lah saya konfirmasi. Tapi kok saya agak sangsi ya konfirmasi saya ditanggapi positif. Sepertinya, nama saya tetep aja jelek. Tetep aja dianggep sebagai perempuan yang ga tau diri, ga punya taste dalam mengejar laki-laki. Sialan emang perempuan sinting itu. Bayangkan, selama 10 tahun nama saya tercemar, difitnah tanpa saya tau!!!

Ga ada guna sebenernya nulis ini..toh uda basi jugah.. Kemaren-kemaren waktu pulang dari reuni, harusnya langsung nulis, tapi males. Baru sekarang keulik lagi, itu juga gara-gara otak kopyor. Tapi saya merasa saya harus menyalurkan energi negatif yang muter-muter ga jelas di tubuh saya. Yah, yah, itung-itung nulis yang ga pake analisa. Nulis yang ga dalem-dalem. Nulis yang bener-bener buat iseng. Nulis yang ga pake pretensi apapun. Nulis yang (semoga) ga akan disalahartikan. Hihihihihihihi..

Kemarin saya menulis sebuah note yang terinspirasi dari obrolan dengan teman. Weiiits, sepertinya ada bau-bau ga enak paska tulisan itu. Ada dong beberapa yang menanyakan ada hubungan apa saya sama orang yang obrolannya menginspirasi note saya itu. Haaaddddaaaaah..apalagi. Pusing saya. Setiap kali saya menulis tentang lawan jenis, selalu ditanya ada hubungan apa. Ga bisa apa nerima kenyataan kalo saya ga selalu harus ada hubungan dengan para lelaki yang menginspirasi tulisan saya? Siapa saja, apa saja, kapan saja, semuanya bisa menginspirasi tulisan saya. Semuanya punya kans sama besar. Tapi memang si, kans lelaki lebih besar untuk saya tulis daripada perempuan. Seperti yang saya katakan pada seorang teman, saya itu lancar jaya kalo nulis tentang lelaki. Dapet gitu lah kemistrinya. Cuma ga nahan emang sama opini publiknya. Gosip, gosip, gosip. Saya si sebenernya ga masalah digosipin, tapi yang jadi masalah, orang yang digosipin sama saya itu. Biasanya ni, mereka, noh, noh, orang yang apes digosipin ada apa-apa dengan saya, pada kegeeran. Pada bingung maunya sendiri. Pada aneh. Pada mikir yang ga-ga. Pada nganggep gosip itu sebagai fakta. Trus ngejauhin saya, trus nyebarin (lagi) gosip baru tentang saya. Ga akan brenti lah tu pemberitaan sinting tentang saya yang tidak mungkin bisa dipertanggungjawabkan secara moral.

Dipikir-pikir, memang butuh mental yang berbeda dari mental orang kebanyakan agar bisa bertahan dari yang namanya badai gosip. Ya kaya saya itu. Lama-kelamaan, saya jadi kebal digosipin. Bodo orang mo ngomong apa, yang penting orang-orang terdekat saya tau kebenaran sejati (jiaaah, bahasanya) saya. Ga gampang mengasah mental supaya kebal. Latihannya beraaaaat. Anggota Densus 88 pun saya ragukan bisa bertahan dari badai gosip. Taruhan, anggota Densus 88 bisa mati gila kalo dapet gosip aneka rasa seperti yang biasa saya dapatkan. Jadi, melalui tulisan ini, saya cuma mo bilang ni, siapapun Anda yang berjenis kelamin lelaki dan tidak memiliki hubungan darah dengan saya, punya kesempatan sama besar untuk digosipkan terlibat dengan saya. Ga tau juga model terlibatnya kaya apa, pokoknya terlibat aja dengan saya. Namanya juga gosip yak, kebenarannya jelas-jelas diragukan, tapi efeknya, dasyaaaat. Kalo merasa cuma punya mental kedele alih-alih tempe, jauh-jauh lah dari saya. Percuma juga kalo mental cuma seupil gitu, ga akan bisa lah ngadepin gosip itu. Daripada, sok-sokan bisa bertahan dan pada akhirnya cuma bikn saya jadi tambah sakit ati karena toh juga pada lari saking ga betahnya sama ujan gosip, lari aja dari sekarang.

Yayayayaya..namanya juga tulisan otak kopyor. Murni luapan energi negatif ga jelas yang sedang mengelilingi saya. Daripada saya buat dosa nikmat, mending saya nulis ajaaah.. Seperti biasa, kalo ada kesamaan tokoh, tempat, peristiwa, kutipan kata/kalimat, itu hanya lah kebetulan semata. Tidak ada niatan untuk melakukan pembajakan apalagi penghinaan yang berakhir pada fitnah. Atas kesediaan Anda semua membaca tulisan ini, saya ucapkan banyak-banyak terimakasih karena Anda telah berperan terhadap eksistensi aset bangsa yang sangat berharga, yaitu saya.

NB: I am totally sinting person, I think.. 100% pure.. Faaaakkkkk..

10.09.2009

Zona Nyaman

Tulisan yang sengaja saya buat untuk menunda mandi dan pada akhirnya menunda mengerjakan tugas akhir.

Ide tulisan ini muncul dari seorang teman lama yang sarap dan cukup sinting lah saya pikir karena terlalu lama berkubang dalam urusan kisah cinta yang menyakitkan.

Teman Saya yang Sarap (TSS): Ealah..harus jauh-jauh kayanya. Phobia sama cewek mens. Gahar (apaan ni artinya saya juga ga ngerti) banget soalnya.
Saya yang Tidak Sarap (STS): Yang jauuuuuuuh skalian, kalo perlu tinggalin kotamu.
TSS: Cuakaka (asli, sebenernya jayus bener model ketawa teman saya ini) Gah! Kotaku terlalu nyaman buatku.
STS: Maka aku akan membuatmu keluar dari zona nyamanmu. Itulah pekerjaan sipikolog (istilah bodoh dari teman saya yang sarap).
TSS: Lah, bukannya terbalik? Sipikolog kan membuat nyaman buat user (loe kate junkie ape, user..istilah teman saya yang sarap itu selalu saja bodoh).
STS: User kaya kaya kamu itu biasanya menyalahgunakan zona nyaman..jadi edyaaan..

Zona nyaman..hmmmm..bagi saya istilah tersebut lebih banyak negatifnya daripada positifnya. Begitu banyak orang terjebak dalam sebuah wilayah yang disebut zona nyaman. Stuck in there..!! Dan ini sedikit dari sekian banyak contoh.

Berapa banyak teman saya terjebak dalam sebuah hubungan yang tidak sehat hanya karena dia terlanjur nyaman dengan hubungan tersebut. Menangis, sakit hati, sudah bukan hal yang ditakuti. Justru menjadi semacam candu. Pacar berbicara kasar, memaki dan bahkan memukul, sudah menjadi menu utama. Jika hal tersebut hilang, menjadi semacam pertanyaan, "Apakah dia sudah tidak mencintaiku lagi..?" Kalau curhat, seolah-olah hidupnya menderita sungguh, tapi begitu diminta untuk meninggalkan sumber derita, responnya, "Aku ga bisa idup tanpa dia. Meskipun dia kasar, aku tau kok kalo sebenernya dia mencintaiku." An**ng, ngomong sana sama tembok, jangan sama saya!

Atau seorang teman yang dari lahir sampai punya anak, tinggal di kota tempat saya dibesarkan. Kalau saya bertemu dengannya, nongkrong, ngopi-ngopi, hujatan tentang kota tersebut dengan deras mengalir. Yang katanya kotanya ga maju-maju lah, nanggung lah, ndeso lah, ga ada hiburan lah ato apa lah. Belum lagi kalau belanja dia harus pergi jauh-jauh ke ibu kota kerena ibu kota menyediakan kebutuhan yang lebih sesuai dengan seleranya. Trus saya tantangin dia untuk meninggalkan kotanya sekarang dan menuju ibu kota. Responnya, " Ga ah, repot. Di sana pada mahal, macet, banyak keramaian. Di sini aja, tenang, damai." T**!!!

Saya berpikir, zona nyaman membuat orang menjadi tidak berkembang. Terbuai kemudian menjadi malas. Sudahlah, mau mencari apa lagi. Cukuplah, toh kebutuhan sehari-hari juga tidak berkekurangan. Looks like has no fight! Zona nyaman tidak selamanya hal yang benar. Perlu kita waspadai bila zona nyaman tersebut sudah mulai menjadikan kita memiliki progres kehidupan yang lambat, stagnan atau bahkan mengalami kemunduran. Zona nyaman itu seperti pisau yang tajam. Terkadang, dia diperlukan dan sangat membantu kita, di sisi lain, dia bisa membunuh kita.

Bagaimana kita bisa melihat zona nyaman akan menjadi bencana bagi kita? The answer is only one!! Just be honest with your self.Buang semua pertahanan diri kita. Benarkah kondisi seperti ini membuat kehidupan kita menjadi lebih baik dari sebelumnya? Sungguhkah kondisi seperti ini yang benar-benar kita inginkan? Dan jika jawabannya tidak, sudah tahu lah kita harus bagaimana. Waktunya untuk mencoba sesuatu/seseorang yang baru. Come on, masih banyak hal-hal baru yang menanti kita. Kita tidak akan pernah tahu kalau kita tidak mencoba. Kita tidak akan mati hanya karena kita mencoba sesuatu yang baru. Kita juga tidak akan kehilangan nyawa hanya karena memutuskan sebuah hubungan tidak sehat yang sudah berlangsung puluhan tahun. Kita hanya bisa mati kalau yang memberi kita nyawa menginginkan kita mati.

Jangan pernah berhenti pada satu titik, walaupun titik tersebut memberimu kenyamanan..!

NB: Dear teman saya yang sarap, PEACE..;p
Sepertinya saya sedang menjadi bukan diri saya dengan menulis tulisan yang inspiratif ini. Tapi begitu lah saya, selalu mengagetkan banyak pihak dengan begitu banyaknya talenta saya (ciieeeeeee..cuit, cuit, cuit). Contoh terdekat adalah efek tulisan ini bagi saya, note ini telah membuat saya sendiri terkejut. Kenapa saya lebih memilih menulis note ini daripada mandi dan kemudian mengerjakan tugas akhir saya. Faaaaakkkkk..!!!

10.07.2009

Penis dan ABG

Saya sedang jengkel dengan tugas akhir saya. Selalu saja kurang, kurang dan kurang. Revisi, revisi, revisi terus. Jadi, sebagai pengalih perhatian sementara, saya menerima tawaran dari teman saya untuk mengisi pembekalan bagi remaja di salah satu SMU negeri.

Friend of mine (FM): Bun (ini panggilan beken saya), tolongin si ngisi materi di sma'ku. Topiknya pasti kamu suka.
Me (M): Apaan topiknya?
FM: Kesehatan reproduksi..!!
M: (dengan mata berbinar karena menemukan waktu berbicara tentang seks) Yoyoi.. Siap..tapi materi kamu lah ya yang nyiapin.
FM: Wokewokewoke..tapi ada NAPZAnya juga..
M: Halah, kok pake NAPZA..(merutuk karena waktu berbicara tentang seks akan terpotong oleh topik yang saya tidak sukai.)

Dan tiba lah hari bersejarah itu. Hari dimana saya bisa berbicara tentang seks.
Bla, bla, bla..dimulai dengan pembuka, bla, bla, bla, dan ini lah saatnya..

M: Apakah reproduksi itu?
Remaja (R): Proses berkembang biak untuk menghasilkan keturunan (bahasanya biologi sangat dan tidak bercacat. Gurunya pasti senang. Muridnya sopan dan pandai.)
M: Waaah, pintar. Apa saja alat reproduksi itu?
R: Ya itu.
M: Itu apa?
R: Ya itu. (Salah satu contoh jeleknya metode pendidikan di negara saya tercinta).
M: Oke, alat reproduksi laki-laki apa?
R: Ituuuuuu..(mulai saya jengkel dengan metode pembelajaran yang mereka terima).
M: Ooooo, jadi buku biologi bilang kalo alat reproduksi laki-laki disebut itu?
R: Iyaaaa..(Saya jadi ingin tahu, siapa guru biologi mereka).
M: Baiklah, karena kalian ga mau bilang apa alat reproduksi laki-laki, saya saja yang sebut (waaaaah, saya akan menyebutkan salah satu bagian kesenangan saya). Alat reproduksi laki-laki disebut penis!
R: Hiiiiiiiiiiiiiiiiii..mbaknya njijiki.
M: (dalam hati saya mengutuk mereka).
Akhirnya saya dengan setengah memaksa, meminta mereka untuk mengulang kata penis tersebut. Ada yang tetap tidak mau mengikuti permintaan saya dan hanya diam saja.

Berbicara tentang seks bukan hal yang mudah di Indonesia. Budaya yang turun temurun menjadi salah satu penghambatnya. Tabu, jorok, porno, saru atau apa lah istilahnya. Ironisnya, perilaku seks masyarakatnya, luar biasa memprihatinkan. Peningkatan kehamilan di luar pernikahan atau penyebaran penyakit seks menular yang memprihatinkan. Ini lah akibat kebodohan yang dibuat sendiri. Dibicarakan secara terbuka, tidak diperbolehkan. Ditutupi, jadinya malah busuk.

Apa lah ruginya membicarakan seks dalam koridor yang jelas. Dalam fungsi pengetahuan, misalnya. Ilmiah sebenarnya. Sangat ilmah, sarat dengan teori-teori yang disertai bukti keilmuan, tetapi kenapa masih saja susah untuk dibicarakan? Di kalangan akademik, baiklah, tidak ada masalah. Di kalangan awam?

Satu hal ironik yang saya dapati ketika saya berbicara beberapa hari lalu, keseluruhan dari mereka enggan menjawab pertanyaan saya tentang nama alat reproduksi laki-laki, tetapi mereka bisa menyebutkan tentang cupang, cipok dengan mudahnya. Bayangkan, koridor pertanyaan saya jelas dalam batasan keilmuan, dan mereka ENGGAN menjawab. Justru mereka tanpa beban berbicara tentang istilah-istilah terkait dengan seks di luar keilmuan. Saya yang sinting atau bagaimana?

Seorang dari mereka ada yang bisa menjawab tentang aktivitas seksual yang dapat mengarah pada hubungan kelamin. Kissing, necking dan petting. Maka saya pun menjelaskan satu persatu tentang tiga hal tersebut. Ketika tiba di bagian petting, mulai lah saya menuai tanggapan: yeeeeekkk, nggilani, njijiki. Bahkan beberapa saya lihat ada yang sampai menutup telinga sambil geleng-geleng ketika saya menjelaskan tentang petting. Sekali lagi, saya terenyuh melihat keadaan tersebut.

Di tahun seperti ini, dengan kemajuan teknologi dan banyak hal lainnya, seks masih saja menjadi hal yang sulit untuk dibicarakan secara terbuka bahkan dalam koridor pendidikan. Padahal menurut Maslow, seks sebagai kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar dari seorang manusia. Kalau keberadaannya saja masih sering ditutupi dengan alasan kesopanan, mau dapat informasi benar bagaimana coba. Hasilnya, banyak yang meraba-raba, mencoba-coba tanpa panduan yang tepat dan berdampak sangat buruk. Namun ketika seseorang mencoba menelusuri lebih dalam tentang seks dalam rangkan mendapatkan panduan yang tepat, jalan mereka dihambat. Misal: Anak kecil yang tanpa sengaja melihat tayangan orang sedang berciuman kemudian menanyakan kepad orangtuanya, berapa banyak orangtua yang bisa menjelaskan dengan tepat? Paling-paling dijawab, itu urusan orang dewasa atau huussssh, masih kecil, jangan tanya yang macem-macem kaya gitu atau langsung televisi dimatikan. Begitu susahkah menjelaskan hal yang benar tentang seks? Sangat fatal kalau kita sejak dini tidak memberikan informasi yang tepat tentang seks.

Tidak pernah ada kata terlambat untuk menginformasikan seks dengan tepat guna..

;;