8.30.2010

Mas-masnya, Baikan Yuk..

Welcoming Mondaaaaay..:)

Sumpah, semalem saya berharap hari Senin cepet si datengnya. Saya mati sumpek di kos (biasa, lagi kena serangan pencitraan diri yang negatif). Saking semangatnya nungguin hari Senin (yang sangat jarang terjadi), saya bangun sebelum jam weker saya bunyi. Saya yang biasanya bangun jam 6 (dan adakalanya korupsi sampe setengah 7), bangun dengan sendirinya pukul 5. Ketap, ketip, guling sana, guling sini, tetep aja ga bisa merem lagi. Nasib saya mungkin. Dan setelah rutinitas bla, bla, bla, jam 7 saya sudah duduk manis di ruangan saya. Incredible moment! Saya sendiri takjub.

Buka inbox imel kantor, berencana mau mengirim imel ke konsultan HRD (karena ada file yang ketinggalan), ternyata setelah saya cek lagi, ya ampuuuun, semua file yang harusnya saya kirim kemarin Jumat, belum saya lampirkan. Bagooooos, dimana otak saya kemarin itu. Nevermind, saya kirim ulang lah. Susah amat. Toh konsultannya juga lagi di luar kota, ga mungkin juga cek imel. Urusan imel, beres. Cek lagi, ada kerjaan apa hari ini. Ternyataaaaa..kerjaan ringan. Semua tanpa deadline.. Lovely Monday..

Ngeblog aja lah bentar, udah lama ga update.

Semalem, saya berpikir apa ya yang buat saya ga bisa damai dengan semua mantan saya. Mantan yang berakhir dengan baik-baik aja ga bisa damai, apalagi yang berakhirnya dengan tidak baik.

  1. Pacar SMU, saya putuskan dengan alasan bosan. Dia tidak mau menyapa saya hingga detik ini. Keberadaannya dimana, saya juga ga tau.
  2. Pacar pertama waktu kuliah, alesannya sama, saya bosan. Masuk rumah sakit karena OD (gara-gara saya katanya). Ini juga sama. Dia membenci saya. Ilang juga ditelan bumi. Di semua jejaring sosial, dia ga ada. Padahal setau saya dia cukup eksis sebelumnya.
  3. Pacar kedua waktu kuliah, nah, yang ini baru aja saya ketemu lagi di F***book. Ternyata udah punya bini dan satu anak. Setelah putus dulu, dia juga ogah ketemu saya, ogah ngomong sama saya. Ogah lah deket-deket dengan apapun yang ada bau-baunya saya. Baru aja di jejaring sosial itu saya ngobrol-ngobrol, itupun cuma bentar aja.
  4. Pacar ketiga waktu kuliah, setelah putus, mas mantan yang ini langsung punya pacar lagi dan meninggalkan saya dalam lembah patah hati selama 2 tahun. Saya si pengennya tetep bisa bertemen meskipun putus, tapi pacar mas mantan ini sakit jiwa. Ga ngebolehin mas mantan berhubungan dengan mantan-mantannya, terutama saya. Setelah mas mantan ini putus sama pacarnya yang sakit jiwa, baru deh saya bisa bertemen baik. Dan itu butuh waktu 4 tahunan. Saya heran, mas mantan saya ini betah amat ya pacaran sama perempuan sakit jiwa gitu.
  5. Pacar keempat waktu kuliah,nah ini, mantan favorit saya. Putus baik-baik saya yang pertama. Karena sifatnya yang baik-baik, hubungan paska putus juga damai sejahtera. Bahkan, beliau mengundang saya ketika menikah. Menjadi sangat tidak baik setelah beliau menikah. Katanya si gara-gara blog saya. Tulisannya mendeskreditkan bliau (menurutnya) dan sangat mengganggu. Psychological war lah akhirnya. Hingga detik ini. Mungkin, kalo bliau bertemu saya secara tidak sengaja, bisa terjadi huru-hara pasti.
  6. Pacar terakhir saya. Sangat tidak baik berakhirnya. Menyisakan revenge di hati saya. Walopun sudah saya kurangi revenge'nya, ga juga ngefek, mas mantan yang terakhir ini uniknya setengah mati. Terakhir bertemu dengannya saya pikir akan mampu memperbaiki perang dingin antara saya dan dia. Tapi kok ya sama aja. Kalo saya telpon, ga diangkat. Saya sms, ga dibales. Hadaaaaah.. Mau saya nanya apa aja, ya cuma kaya ketemu tembok gitu.
Saya suka iri sama temen-temen yang tetep bisa baik-baik aja sama mantan-mantan mereka. Gimana ya caranya..? Okelah, buat para mantan saya yang tersakiti oleh saya, mungkin mereka emang sakit ati mampus, tapi masa si sampai sekarang? Masa si ga bisa baikan gitu..? Tapi, kalo mas mantan yang terakhir, apa alesannya? Dia kegeeran kali ya saya masih menyimpan rasa dan menginginkannya kembali (duluuuuu, pernah si saya ngajak balikan) tapi sekarang kan ga lagi. Ya emang si, saya belum punya pacar, emang si saya masih suka kangen sama dia, tapi kan saya udah ga berharap lagi. Saya ga tau lagi deh apa alesannya. Kalo lagi kena serangan pencitraan diri negatif kaya semalem, pikiran ga penting kaya yang saya tuliskan ini bisa memicu keinginan bunuh diri. Naek pemancar tivi, bluuup, terjun deh. Terus saya hantui lah mantan-mantan saya yang susah banget buat diajak damai. Saya kejar terus sampai mereka bilang alesan sebenernya ga mau damai sama saya. Kalo udah nemu, baru saya bisa damai dan naik ke surga (ga mungkin kayanya, secara matinya bunuh diri).

Mungkin saya memang jatahnya masuk dalam kategori yang ga bisa damai sama mantan (mau gimana pun model putusnya, mau seberapa lamanya kisah itu usai). Sahabat saya juga suka gregetan sama saya, kenapa juga saya suka bener ngebahas hal ga penting kaya begini yang pada akhirnya cuma bikin saya kena serangan mood disorder yang ditambahi cognitive disorder. Saya juga ga tau, kenapa yaaak..?

picture was taken from http://www.gettyimages.com

7.18.2010

ANGER


Dia bilang saya super manja dan kekanak-kanakan. Dia bilang tidak semua yang saya ingin bisa saya dapatkan. Dia bilang skeptis saya sudah keterlaluan. Dia bilang itu cuma perasaan bukan realita. Dia bilang saya harus selalu jadi diri saya sendiri. Dia bilang saya terlalu banyak mengeluh. Dia bilang saya mudah sekali ngambek. Dia bilang dia sedang melakukan sebuah terapi untuk memperbaiki perilaku saya. Dia bilang dia tidak bodoh ketika memutuskan terapi apa yang cocok buat saya. Dia bilang bahwa sikap oposisinya terhadap saya itu disengaja.




Dia juga yang membuka namun lupa menutup. Dia juga yang meminjam tapi lupa mengembalikan. Dia juga yang datang dan pergi sesuka hati. Dia juga yang hadir antara ada dan tiada.

Dia lupa saya punya rasa. Dia lupa bahwa segala sesuatu bisa dikomunikasikan. Dia lupa bahwa saya sering dikelilingi sepi. Dia lupa bahwa saya membutuhkannya.

Dan saya..menangis saat ini..karenanya..untuk kesekian kali..

Dan saya..sekali lagi merasa bahwa ini seharusnya tidak perlu..

Dan saya..butuh bukti, bukan janji..

Dan saya..hanya bisa mengatakan fuck..

Dan saya..sangat marah padanya..

7.17.2010

Full Timer Mom

It’s Saturday. Dimulai dengan bangun pukul 8 pagi. Duduk di sofa, sms’an dengan seorang sahabat. Ngerumpi sana sini. Sarapan. Ngenet ga penting, hendak membalas imel seorang teman yang bertanya tentang remaja untuk kepentingan surat kabar dia bekerja, eh koneksinya trobel. Bolak-balik diskonek. Tutup laptop, beranjak ke tempat tidur. And show time..tidur siang..! Sangat me time sungguh. Indahnya..andai saja sahabat saya tidak mengingatkan bahwa saya membawa kerjaan kantor untuk mengisi akhir pekan saya. Damn..! Sahabat yang sangat tahu bagaimana merusak me time saya. Hmmmm.. Ga penting itu sebenernya, ga ngefek juga bagi saya. Mengingat level prokrastinasi saya yang luar biasa, ucapan sahabat saya hanya menjadi wacana (thanks to her seharusnya saya itu karena kalau bukan dia, ga ada yang mengingatkan saya).

Saat menikmati me time, tiba-tiba saya teringat sebuah janji pada sahabat lainnya. Seorang mom dengan dua anak balita yang luar biasa. Saya berjanji akan mencoba menuangkan kegelisahannya dalam blog saya. Walaupun seperti katanya, tulisan tidak cukup mampu merepresentasikan apa yang ada di benaknya. Saya mengatakan padanya, setidaknya daripada tidak sama sekali.

Bermula dari sebuah sms panjang yang dikirim sahabat saya yang super mom itu kemarin:
“Siang tadi aku baru aja tau, temen satu genk waktu di kampus dulu sekarang sudah jadi kontributor di stasiun tv terkenal. Kemarin malam, sahabatku baru saja dapat ijin praktek. Dan baru tadi aku tau, teman yang tidak kukira mengajar di sebuah universitas negeri. Aku, tanpa pencapaian dan aktualisasi, sedang ngopi sambil menunggu bak cucian penuh.”
Saya sempat menanyakan ulang sms siapa itu, meskipun nama sahabat saya muncul sebagai pengirimnya. Saya benar-benar tidak menyangka, karena di mata saya, sahabat saya tersebut penuh dengan optimisme dan kebahagiaan luar biasa menjadi ibu untuk dua anak balitanya. Saya pikir dunianya sempurna dengan adanya dua jagoan kecilnya. Tetapi, ada satu ruang yang dia bilang which is empty. Saya tidak tahu harus menanggapi bagaimana sms yang dia kirim. Saya hanya menawarkan cara untuk sekedar mengeluarkan sedikit uneg-unegnya.

Sahabat saya, seorang perempuan energik. Tidak bisa diam dan terkadang nglanangi. Terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Sangat mandiri dan sangat benci jika harus bergantung pada orang lain. Enterpreneur mom, segala bidang bisa menjadi uang. Mulai dari bisnis parsel, guru, membuka agensi guru les hingga agensi outbond. Mulai dari uang sedikit hingga uang lumayan. Selama aktualisasi diri jalan dan ide terealisasi. Semuanya berjalan baik-baik saja hingga akhirnya sahabat saya memutuskan untuk hidup mandiri dengan pindah ke rumah sendiri. Rumah kecil dengan lingkungan yang nyaman. Di rumah baru ini, sahabat saya kesulitan mendapatkan pembantu yang bisa menjaga dua jagoannya. Dan akhirnya, sahabat saya resmi menjadi ibu rumah tangga full timer. Pagi, bangun, nyiapin sarapan, nganter jagoan ke sekolah, ngeberesin rumah sebelum nanti diberantakkin lagi, jemput anak, masak. Siang, waktunya para jagoan makan, nemenin mereka main, syukur-syukur bisa ditinggal, jadi bisa ngebersihin dapur. Sore, mandi sore, nemenin anak-anak main, apa ini, ma, apa itu, ma, kenapa gini, kenapa gitu, ma, kok itu boleh kok ini ga boleh. Malam, bed time story. Setelah itu, waktunya cuci-cuci dan seterika. Berputar seperti itu beberapa bulan terakhir. Minim teman bicara, karena belahan jiwa bekerja hingga larut malam.

Wajar jika kemudian ada sisi yang terasa kosong. Ketika teman satu persatu mewujudkan mimpi dan sahabat saya terjebak di rumah dengan keterbatasan mengaktualisasikan diri, wajar jika rasa kosong itu muncul. Tiada pencapaian diri yang diraih katanya. Saya tidak begitu melihatnya. Bagi saya, keputusan sahabat saya untuk menikah dan menjadi seorang ibu, itu hal yang sangat luar biasa. Hal yang saya pun masih belum bisa lakukan hingga saat ini. Kelegawaan untuk menukarkan mimpi dan kesuksesan pribadi dengan peran yang sangat tidak mudah. Perempuan lajang, sukses dalam karir, aktualisasi diri sempurna, wajar, karena tidak ada hal lain yang dipikirkan selain diri. Namun ketika memutuskan menjadi seorang ibu dengan dua jagoan yang pintar dan membutuhkan pengawasan langsung, karir, kesuksesan pribadi tampaknya menjadi skala kesekian. Ada harga yang harus dibayar dari setiap pilihan. Dan seringkali, harga tersebut sangat mahal. Ketika suami pulang larut malam, sulit untuk diajak berdiskusi atau sekedar bercerita ringan karena keterbatasan waktu, ketika teman sepermainan sibuk mengejar karir dan memamerkan keberhasilan, emptyness lah yang setia mendampingi.

Sejujurnya, saya benar-benar tidak tahu apa yang saya harus lakukan untuk sahabat saya. Tanpa perlu mengalami, saya bisa merasakan betapa menderitanya ketika rasa kosong itu muncul. Namun, saya selalu salut padanya, ketika sahabat saya menerapkan pola pendidikan yang penuh dengan komunikasi. Tidak ada pelototan mata, bentakan, larangan tak berdasar apalagi kekerasan fisik. Kesabaran yang luar biasa terhadap dua jagoannya. Jagoan-jagoan kecil yang tahu benar bagaimana membuat tante Toetiek emosi jiwa. Jagoan-jagoan kecil yang selalu tahu bagaimana membuat rumah berantakan. Jagoan-jagoan kecil yang tahu bagaimana merusak barang. Jagoan-jagoan kecil yang sangat tahu ketika sang mama merasa sedih. Jagoan-jagoan kecil yang selalu yakin bahwa mereka punya mama yang sangat bisa diandalkan. Jagoan-jagoan kecil yang kelak akan sangat berterimakasih dengan mama luar biasa yang selalu ada buat mereka. Jagoan-jagoan kecil yang esok akan dengan bangga mengatakan bahwa sang mama telah mengaktualisasikan diri secara sempurna ketika memutuskan untuk menjadi seorang full timer mom, 24-7 menemani mereka. Seorang sahabat yang menjadi mama sempurna bagi dua jagoannya.



Sebuah tulisan yang saya dedikasikan buat para full timer mom atas pilihan luar biasa mereka.
picture was taken from www.gettyimages.com

7.12.2010

The Rainbow

Siapa orang ini yang membuat hidup saya berwarna dua minggu terakhir?

Ada beberapa warna yang dia hadirkan di kehidupan dua minggu terakhir saya:
  1. Merah muda: Ketika orang ini membuat pipi saya bersemu dengan sms-sms dan panggilan-panggilan manisnya.
  2. Biru muda: Ketika genggaman tangannya menciptakan kenyamanan dan rasa aman saat bersamanya.
  3. Kuning: Ketika gurauannya membuat saya tertawa terpingkal-pingkal dan merasa “Ya ampun, orang ini pintarnya menghidupkan suasana.”
  4. Biru tua: Ketika cara dia mengajari saya membuat saya terkagum-kagum dengan kapasitas intelektualnya.
  5. Abu-abu: Ketika tidak ada komunikasi sama sekali darinya dan status-statusnya membuat saya gelisah.
  6. Merah: Ketika dia mempermalukan saya dan membuat saya marah.
  7. Hitam: Ketika dia menghilang, seperti saat ini.
Siapa orang ini sehingga begitu signifikannya dia bagi saya? Siapa orang ini? Anyone..?


7.03.2010

Beautiful Lunch

Anda pasti tahu rasanya ketika Anda menunggu seseorang, sekian lama, sambil kelaparan, dan di menit terakhir orang yang Anda tunggu membatalkan janji dengan Anda? Rasanya Anda bisa lakukan apa saja untuk membunuh orang tersebut saat itu juga. Begitu juga dengan saya. Hufthuft.. Di tengah rasa lapar yang menggila bercampur dengan emosi jiwa, saya menjelma menjadi manusia tanpa hati karena seorang membatalkan janji makan siang di menit terakhir. Makan siang bayangkan makan siang! Aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar, kebutuhan pokok semua manusia!!!!! Saya sudah menanti, membayangkan menu makan siang saya yang merasuk sukma. Yang tidak setiap hari bisa saya nikmati. Menu makan siang yang rela saya tukarkan dengan nyawa saya saat ini. Dan tiba-tiba batal. Hadaaaaaaaaaaaaaaaaah.. Saya pun rela mengosongkan perut saya dari pagi demi makan siang ini. Berharap saya akan dapat menampung menu yang sangat banyak siang ini. Dan ternyata tidak terwujud. Sangat wajar saya bisa membunuh. Terutama membunuh orang yang membatalkan janji makan siang ini.




Saya pun mengirimkan sms ke teman dekat saya: “Ga jadi lunch, ada jadwal ngajar tiba-tiba. Baru aja ngabari.”
Teman saya membalas: “Woooh, kemampleng tenan memang. Sabar, sabar, tan.”
Saya: “Harus memahami lagi berarti?”
Teman Saya: “Sabar, sabar.”

Orang yang membatalkan janji makan siang ini bilang semua hal selalu membuat saya kesal. Termasuk dia juga itu, membuat saya kesal. Saya sudah mau mati kelaparan menunggunya. Wajarlah ya kalau saya kesal. Dan tahu apa respon orang ini ketika saya komplain tentang pembatalan janjinya yang seenaknya sendiri:
“Kalau mau nunggu ya agak siangan, cantik. Paling jam 2 – 3 an aku kelar.”
Manis bukan responnya? Panggil cantik segala. Memang dengan memanggil saya cantik, rasa lapar saya berganti dengan rasa kenyang? Yang lebih indah lagi adalah alternatif waktu pengganti yang dia tawarkan. Jam 2 – 3 an!!!!!! Siangnyaaaaaaaaaaaaa.. Hadah, hadah, hadah..duh, Gusti..

Saya sudah mau mati saja gara-gara kelaparan. Anak kos pula. Ga ada stok makanan. Mau keluar cari makan, panasnya aje gile. Sepertinya mending saya tidur saja lagi. Bangun sorean, baru cari makan. Dan dalam tidur saya, akan saya mimpikan orang yang membatalkan janji makan siang saya. Dalam mimpi, saya akan lakukan mutilasi padanya. Kalau perlu habis saya mutilasi, saya blender. Biar lembut sekalian tidak bersisa. Saya campur dengan telur lantas saya goreng. Saya jadikan menu makan siang saya.


picture was taken from www.gettyimages.com

6.27.2010

My Confession


Beberapa hari lalu, kantor saya mengadakan sebuah pelatihan. Pengisi materinya adalah seorang yang katanya pinter (banget) dengan gelar super panjang plus aneh di belakang namanya yang menurut saya susah buat dilafalkan. Sesusah yang punya gelar sepertinya. Berjenis kelamin lelaki, yang sebenarnya cukup good looking andai saja dia tidak bertingkah super duper menyebalkan. Saking nyebelinnya, dia sukses membuat saya menangis. Huhuhuhuhuhu, agak susah mengakui saya menangis gara-gara dia. Tapi ya memang begitu adanya.

Mr. Smart Guy ini entah kenapa doyan banget ngegangguin saya dengan mempermalukan saya di depan forum. Ini deretan ceritanya:

First meeting. Latar belakang pendidikan saya kurang memadai dengan posisi pekerjaan saya saat ini. Jadi saya bilang ke Mr. Smart Guy untuk jangan berbicara terlalu cepat, supaya saya bisa memahami materi dengan baik. Karena saya tau persis, materi yang dibawakan Mr. Smart Guy ini susah. Sebelum pertemuan ini, saya mencoba membaca bukunya, tapi ya ga paham-paham. Jadi menurut saya, ini materi sulit. Eh, ternyata, permintaan saya sebagai efek kekurangan saya diekspose di forum tersebut. Untung cuma ada 8 orang, saya bisa lah mesam mesem. Ketawa ketiwi. Tidak masalah. Baiklah, biarkan saja Mr. Smart Guy ini bertingkah.

Second meeting. Saya ga request apa-apa (seinget saya). Tapi, lagi-lagi, Mr. Smart Guy ini iseng gitu aja ngebawa-bawa saya dengan sindiran-sindirannya di depan forum. Sekali lagi, untung, cuma ada 8 orang. Ga gitu berasa lah. Termasuk juga sindiran-sindirannya paska meeting. Ya sudah, biarkan. Mungkin Mr. Smart Guy terlalu pintar, sampai-sampai tanki otaknyanya luber-luber. Semua-semua dikritikkin.

Third meeting. Ini dia yang jadi bencana!!! Ya pelatihan yang membuat saya menangis. Sebagai new comer, jadilah saya EO, sendirian, semua serba saya sendiri yang lakukan. Tanggungjawab segitu banyaknya dengan wewenang yang belum jelas. Gimana lah caranya supaya pelatihan dengan 30an peserta yang rata-rata punya jabatan oke ini berlangsung sukses. Ada beberapa orang yang saya amati, mencari celah kelemahan dan kekurangan saya. Jelas dong, saya berusaha seoptimal mungkin buat meminimalkan itu, biar orang-orang itu ga akan mendapatkan mau mereka dengan mudah. Eh, eh, eh, eh, lhah, kok Mr. Smart Guy ini yang bikin gara-gara. Ini ni kalimat yang muncul dari Mr. Smart Guy yang menciptakan bencana buat saya:“Harusnya ini ada print outnya (materi yang sedang dia bawakan) sebagai panduan kita.” Jelas lah, kalimat Mr. Smart Guy barusan itu memancing dua pejabat tinggi kantor saya untuk menegur saya serta merta saat itu juga. Pertama, teguran dari GM saya, disusul teguran dari CEO saya. Saat itu juga, di depan forum dengan 30an peserta. Ini teguran mereka:“Harusnya ini sudah ada dari kemarin, bukan sekarang baru mau diprint.” Apesnya lagi, dua orang bos saya itu suaranya pada kenceng semua. Hadaaaaaah, rasanya saya mau mati. Panas semua wajah saya. Panas menahan marah. Gimana ya ga marah, PERTAMA, itu bahan yang HARUSNYA DICETAK UNTUK PANDUAN PESERTA, tidak sekalipun diberikan kepada saya filenya apalagi informasi bahwa itu harus dicetak untuk para peserta. Info itu baru saya dengar ya pas pelatihan. Kenapa juga ga dari kemarin-kemarin gitu kan. KEDUA, ternyata bahan yang Mr. Smart Guy bilang harus ada cetakannya, ga perlu-perlu amat buat dibagi ke seluruh peserta. Cukup para orang-orang tertentu di jajaran top management. Hadaaaaaaaaaaaaaaaah, pengen nimpuk sepatu saja saya ini. Sudah, sudah, slow, sekarang minta filenya, segera dicetak. Asistennya ternyata ga punya dong filenya. Ya sudah, saya mau minta langsung sama Mr. Smart Guy. Eh, asistennya bilang kalau Mr. Smart Guy itu tidak suka diinterupsi kalau sedang presentasi. Hadaaaaaaaaah, rewelnya Mr. Smart Guy ini. Terpaksalah saya menunggu beliaunya ini selesai presentasi sambil menahan emosi. Begitu selesai, saya mintalah filenya, dengan marah-marah lah. Ketika saya buka, format filenya tidak kompatibel dengan format komputer yang ada di kantor saya. Harus diedit dulu. Hadaaaaaaaaaah, kemrungsung lah saya. Secara, saya diburu-buru untuk menyediakan file tersebut secepatnya. Lhah, pas saya lagi melihat layar komputer saat mengedit file tersebut, kok air mata saya meluncur. Pertama-tama masih pelan. Lhoh, lhoh, lhoh kok lama-lama tambah deres tambah deres tambah kenceng. Panik lah saya. Gimana ini, gimana ini. Ya sudah lah, mau gimana lagi. Hapus saja air matanya. Kembali ke ruangan dan bersikap seolah-olah saya tidak menangis. Tapi tetap aja, ketauan, lha mata saya sembab. Bodo lah. Sepanjang sisa pelatihan, saya sewot aja bawaannya. Semua semua kena semprot.  Kalau misalnya pembunuhan itu legal, saya orang pertama yang akan melakukannya dengan target utama Mr. Smart Guy. Seusai pelatihan yang menguras tenaga, saya perlu menenangkan diri sejenak untuk meregulasi emosi saya. Setelah cukup tenang, saya sms Mr. Smart Guy untuk menanyakan bisa ga ya kira-kira tingkahnya yang menyebalkan itu tidak terulang lagi. Beliau menjawab dengan permintaan maaf dan katanya ga akan gitu lagi. Eh,tapi buntut-buntutnya Mr. Smart Guy membahas tentang saya menangis. Kok ya dia tau ya.. Saya ngeles lah, sesusah apapun saya ngeles, saya tetap harus ngeles. Biar keliatan banget maksa, tetap aja saya kekeuh bilang saya ga nangis. Malu lah, bo..

Agak berlebihan kayanya reaksi saya, tapi entahlah, saya paling ga suka ketika saya ditegur di depan umum untuk sesuatu kesalahan yang bukan saya lakukan. Ditambah, saya tidak bisa membela diri saat itu juga. Ditambah lagi, itu dilakukan di depan beberapa orang yang saya tahu benar menginginkan saya celaka. Mungkin itu lah dunia kerja yang sebenarnya, saya perlu beradaptasi dengannya. Seperti yang Mr. Smart Guy bilang, saya masih anak kemarin sore. Anak kemarin sore yang harus belajar banyak bahwa teman dan lawan sangat tipis bedanya. Anak kemarin sore yang harus belajar bahwa air mata tidak akan merubah apapun. Tapi, saya juga anak kemarin sore yang akan lakukan apapun untuk mempertahankan apa yang menjadi hak saya. Saya, anak kemarin sore yang tidak akan diam saja ketika seseorang dengan seenaknya menginjak harga diri saya. Saya, anak kemarin sore yang akan tetap mempertahankan keseimbangan hidup.

Working life lesson learned huh..? Whatta life..  I have to learn about working life more more more more and more.. Saya tidak akan membiarkan air mata saya kemarin sia-sia.. Selalu ada yang harus didapatkan dari semua lara yang tercipta..








6.11.2010

I am Woman

Curi-curi waktu dikit aja buat nulis lagi. Tiba-tiba hasrat menulis begitu besar plus ada ide pula. Daripada ilang. Sabtu, pekan lalu, saya dan seorang sahabat watched the movie. Sebuah film dari serial yang jadi favorit saya, the one and only, SEX and THE CITY. Ceritanya standar lah, saya akui itu. Tapi ada satu hal yang sangat menginspirasi saya (asli, saya merinding ketika menulis ini) dari film itu, salah satu soundtracknya yang berjudul: I am Woman. Versi aslinya dinyanyikan oleh Helen Reddy di sekitar tahun 70an (saya baru tau Helen Reddy setelah saya googgling. And she’s so adorable. Beautiful, charming, energic, dynamic and so awesome). Saya download lagunya, saya putar again again again dan again. Saya ikut menyanyikan liriknya keras-keras (thanx God, I have my own officeroom. Ga perlu takut mengganggu orang lain). Tulisan ini dibuat dengan iringan Helen Reddy, dan saya masih saja merinding!!!!! Dan ini liriknya:

I am woman, hear me roar

In numbers too big to ignore
And I know too much to go back an' pretend
'cause I've heard it all before
And I've been down there on the floor
No one's ever gonna keep me down again
Oh yes I am wise
But it's wisdom born of pain
Yes, I've paid the price
But look how much I gained
If I have to, I can do anything
I am strong (strong)
I am invincible (invincible)
I am woman
You can bend but never break me
'cause it only serves to make me
More determined to achieve my final goal
And I come back even stronger
Not a novice any longer
'cause you've deepened the conviction in my soul
I am woman watch me grow
See me standing toe to toe
As I spread my lovin' arms across the land
But I'm still an embryo
With a long long way to go
Until I make my brother understand

Lagu ini luar biasa. So inspiring me. Coba lihat beberapa liriknya:
·        “Yes, I am wise, but it’s wisdom born of pain”. Seorang perempuan dengan kebijaksanaan yang lahir dari begitu banyak rasa sakit. Saya harus melalui begitu banyak luka dan kepedihan untuk menjadi seperti saat ini. Begitu juga dengan Anda. Pribadi Anda saat ini merupakan tempaan dari berbagai peristiwa dalam kehidupan Anda. Lihat, betapa bijaksananya Anda sekarang.
·        “Yes, I’ve paid the price, but look how much I gained”. Saya membayar lebih untuk dapatkan apa yang saya miliki sekarang, sebuah permulaan keberhasilan yang saya tidak dapatkan begitu saja.  Ada harga sangat mahal yang harus saya bayar. Sangat mahal, begitu mahalnya, saya hampir mati ketika pergi ke kasir untuk melunasinya (sedikit agak berlebihan memang). Jangan lihat dari harganya, tapi lihatlah dari apa yang Anda terima sebagai konsekuensinya.
·        “If I have to, I can do anything”. Saya pernah berkata pada seorang sahabat, bukan masalah saya tidak bisa, tapi ini masalah saya mau atau tidak mau. Bagi saya, tidak ada yang tidak mungkin. Orang ga punya tangan aja bisa menggambar. Orang ga punya kaki aja bisa berlari. Saya dan Anda? Hmmmm..let me think..Kita memiliki segalanya. Kita diciptakan dengan lengkap. Jauh lebih beruntung dari sesama kita yang terlahir dengan ketiadaan beberapa bagian tubuh. So, we can do anything.
·        “You can bend but never break me, 'cause it only serves to make me more determined to achieve my final goal. And I come back even stronger, not a novice any longer, 'cause you've deepened the conviction in my soul”. Baiklah, hati saya memang pernah tersayat-sayat oleh begitu banyak kejadian. Tapi hati saya tidak pernah benar-benar hancur. Jadi stop being a drama queen then. Semua kepedihan yang saya terima hanya memacu saya untuk berprestasi lebih dari sebelumnya. Tidak butuh waktu lama. Kita tidak perlu waktu lama untuk menjadi lebih kuat dari saat ini. Say goodbye dengan semua pertanyaan: Apakah aku bisa kembali pulih, apakah aku akan bisa berprestasi kembali dengan kegagalan ini. Apakah ini apakah itu.

Kalau saya bisa, Helen Reddy bisa, Anda pun bisa. All of pain in our live. All of failure in our way. Kita bisa lalui itu semua. Segala macam pandangan sebelah mata, segala kesangsian atas kemampuan kita, itu hanya membuat kita lebih berusaha dan menjadi lebih baik dari sebelumnya. Kita bisa lalui itu semua karena: I AM WOMAN, I AM STRONG, I AM INVINCIBLE..Yes, I proudly say that I AM WOMAN..

6.10.2010

Melajang, Salah ya...?

Hari ini, kerjaan saya di kantor (saya suka banget ni sama statemen ini, soalnya saya ga nganggur lagi, ga gila lagi gara-gara nganggur) lagi santai (kaya di pantai). Ya jelas lah, secara saya habis kerja rodi dua minggu kemarin, pontang-panting ngejar target. Break lah bentar. Awal minggu, gila lagi. Ngejar target lagi. Hehehehehehe.. Ga penting juga si intermezzonya, jadi ga jelas saya mau cerita apa..hihihihihihihihi..

Jadi gini, karena hari ini saya santai, saya melakukan sesuatu yang disebut manipulasi waktu. Gayanya aja saya serius di depan komputer, tapi buat blogging.. Nanti kalau ada yang masuk, saya ganti lah page, ke web-web yang berisi materi kerjaan saya. Ketika saya blogging, ada satu tulisan menarik tentang “Pernikahan Merupakan Pencapaian Terbesar”. Bagi saya, tulisan itu keren. Fenomena wanita sukses, pendidikan tinggi dengan pekerjaan oke. Penampilan wah dengan body sedap dipandang. Tapi, masih melajang. Pasti lah, kalau lagi kumpul-kumpul temen, keluarga, pertanyaan yang muncul: Kapan merit? Dijawab ga tau, dibales lagi: Kenapa si ga mau merit. Hadaaaah..

Sayangnya, pertanyaan-pertanyaan yang mengganggu itu, sering-seringnya, muncul dari sesama perempuan yang sudah menikah. Waduh, ga setia kawan ni. Ngejatuhin temen sendiri. Mungkin, memang bawaannya perempuan kali ya, suka sekali berkompetisi. Kalau ada temennya yang belum merit, dia merasa menang. “Yeyeyeaaah, temen gue ga laku. Gue laku.” Atau sebenarnya, pengen bisa sekolah tinggi, kerja mapan, duit banyak dari hasil kerja sendiri tapi keburu merit, iri, jadi berusaha menjatuhkan temen sendiri.

Siapa si yang ga pengen merit, punya anak yang lucu-lucu, keluarga yang oke? Semua mau lah pasti. Tapi prioritas orang kan beda-beda nih. Kaya di blog itu, ada yang komen,” Kalau yang di depan mata itu tawaran buat studi overseas, masa ya ga saya ambil. Mo merit, yang dimerit’in juga belum ada.” Masa iya, kita harus ngikutin kata orang,”Meskipun belum ada calon, jangan si diambil tawaran itu. Nanti bikin kamu tambah susah dapet jodoh.” Preeeeeeeet..

Beruntunglah orang yang studi tinggi, pekerjaan oke, merit cepet. Kaya temen-temen saya sekolah paska sarjana dulu. S2, pacar siap melamar, begitu ijazah keluar, dilanjut ijab sah, selesai ijab sah, dapet kerja di perusahaan mentereng. Saya juga mau laaaaah kalau begitu itu. Masalahnya, jatah orang ada sendiri-sendiri katanya. Kalau itu belum jadi jatah kita, gimenong? Kita buang aja jatah kita, ngerebut jatah dia?

Jatah saya saat ini sepertinya masih pada fase melajang. Kecemasan itu ada lah, mengingat teman-teman saya taken one by one. Kalau kumat melo yelo belonya, saya suka nanya: “Kapan saya taken?” atau “Ada ga ya yang mo take saya?” Hahahahahahaha..silly, tapi itu realita.
Nanti, kalau saya sedang tenggelam dalam kerjaan, saya suka mbatin: “Untung saya masih lajang, ga kepikiran ninggalin anak kelamaan, ga bertengkar sama suami gara-gara pulang malem.”

Saya masih belajar banyak untuk dealing dengan kondisi saya sekarang. Ga pernah mudah. Siapa bilang jadi lajang itu mudah? Banyak godaannya, terutama dari para lelaki yang suka sekali cari iklan di kehidupan perkawinan mereka. Fasilitas yang ditawarkan, ampun-ampun. Dari fasilitas level rendah, seperti pulsa yang terisi dengan sendirinya hingga tawaran posisi asoy geboy di perusahaan asing besar. Merem melek mata saya kalau nemu godaan kaya gini. Tapi ya itu tadi, namanya juga godaan. Cuma menggoda. Ga serius. Belum lagi nanti disirikkin sama para perempuan yang khawatir suami-suaminya lari. Hadaaaaah... Pernah ya, saya jengkelnya setengah mati, lelakinya yang genit, saya yang kena apesnya. Lha saya ga ngapa-ngapain, kok saya dibilang ngegangguin suami orang. Ya oloooooh..

Saya pernah bilang sama sahabat saya kalau saya mulai bisa menikmati kesendirian saya. Gimana ga susah ya, saya ini masuk di lingkungan baru yang notabene semua sudah menikah. Saya ga punya temen nongkrong atau ngobrol yang sepikir. Kesepian saya. Kemana-mana, sendiri. Haduh, ampun-ampun. Secara, saya ini anti soliter mampus. Ekstrovert sejati yang sangat menyukai berinteraksi dengan orang. Berdarah-darah saya di awal-awal. Ada sih yang bersedia diajak nongkrong-nongkrong, ngobrol-ngobrol, enak diajak ngobrolnya, tapi sudah punya bini. Bisa dirajam nanti saya, dibilang melakukan usaha merebut suami orang. Tiap hari saya memaki: “Gue juga ga mau kali kaya begini, tapi kalo gue emang lagi begini, masa iya gue maksa kawin.” Bodoh memang terkadang saya itu. Silly. Hahahahahahahaha..

Tapi eniwei, bener lah yang di blog itu bilang, menikah melajang sama enaknya sama sulitnya. Sama lah semuanya itu. Sudah ada porsinya sendiri-sendiri. Kalau melajang tampak lebih menyenangkan dari menikah, ya itu pas circlenya saja. Kebetulan lagi di putaran yang enak. Menikah juga begitu. Jangan sih kaya orang susah, Toetiek. Go go power ranger aja lah..

Go go you, girl.. Yes, you can..

6.01.2010

The Princess



Sang Putri menangis. Air mata yang tertahan akhirnya meluncur deras semalam. Pagi ini pun, sang Putri masih menangis walaupun tidak sekencang tadi malam. Hati sang Putri terluka sekian kali. Tidak pernah terbersit dalam benak sang Putri untuk membiarkan hatinya kembali tersakiti oleh apa yang orang bilang itu cinta. Hati itu sudah cukup lama terlindungi, luka itu sudah kering sepertinya, maka sang Putri pun mencoba kembali mengenalkan hatinya pada sebuah rasa yang menciptakan kehidupan, hasrat dan keindahan. Terpuruk dalam sebuah paranoid, self blamming dan rasa tidak percaya diri cukup membuat sang Putri jengah. “Tidak baik untuk hatiku,” ujar sang Putri. Dan sang Putri dengan susah payah kembali berdiri dari keterpurukan itu.  

“Kamu menarik, kamu pintar, kamu menyenangkan, kamu loveable, kamu memiliki segalanya. Tidak pernah ada cukup alasan untuk membuatmu merasa tidak pantas untuk dicintai,” begitu sahabat-sahabat sang Putri memberikan semangat. Mengembalikan rasa percaya diri yang tercecer. Sang Putri pun tersenyum, “Waktunya kembali membuka hati untuk Pangeran.”

Kali ini, sang Pangeran berdiri di sana. Dengan segala kemapanan hidup. Kematangan pribadi. Pesona diri. Kejantanan lelaki. Sang Pangeran tersenyum, dan sang Putri tahu, hatinya telah tertambat. Tak lama sang Pangeran pergi. Entah mengapa, sang Putri merasa gelisah. Tidak lama, kegelisahan sang Putri terjawab. “Apakah aku memenuhi kualifikasinya? Aku hanya tidak ingin mengecewakannya. Apa aku cukup berharga untuknya?” sang Pangeran berkata pada seorang sahabat sang Putri. Seribu satu jawaban yang diberikan sahabat sang Putri pada sang Pangeran tidak cukup mampu membuat sang Pangeran sadar bahwa hati sang Putri telah tertambat padanya. Dan sang Pangeran pun pergi, meninggalkan sang Putri yang kembali terluka. Hanya saja kali ini, ada air mata di wajah sang Putri.

5.23.2010

Let Me


Saya kembali bertemu dengan sahabat lama yang hilang empat tahun lalu. Bertemunya pun lewat FB dan kemudian kami berkomunikasi melalui telepon. Sahabat saya menghilang karena hantaman luar biasa dalam kehidupan keluarganya. Suaminya berselingkuh tapi sahabat saya yang diperkarakan. Sahabat saya akhirnya bercerai dan mengalami masa-masa suram paska perceraiannya hingga harus menarik diri dari peredaran a.k.a menghilang. Kemudian kemarin saya bertemu dengannya untuk menghadiri acara lamarannya. Kami pun bercerita banyak, terutama tentangnya empat tahun terakhir.

Tidak dipungkiri, hati sahabat saya tidak lagi memproduksi rasa. Bahkan ketika memutuskan untuk berpacaran dengan lelaki (yang baru saja melamarnya kemarin), sahabat saya tidak memiliki rasa apapun terhadap lelaki tersebut.

Sahabat Saya yang Hilang (SSH): “ Dia yang ngajakin pacaran. Lagipula lumayan juga, ada temen ngobrol, crita, maen. Kebutuhan aja. Tapi hati, ga ada rasa waktu itu.”
Saya (S): “Trus butuh waktu berapa lama sampai muncul rasa?”
SSH: “Delapan bulan. Pas dia dateng ke rumah buat lebaran. Di situlah aku ngliat dia srius sama aku. Dia, yang belum pernah menikah, seumur denganku, mau sama aku, janda anak satu.”

Ternyata, selama delapan bulan di awal mereka berpacaran, sahabat saya tidak memiliki rasa, bukan karena sahabat saya tidak menyukai lelaki yang menjadi calon suaminya saat ini, tetapi sahabat saya MEMANG menutup rasa itu karena rasa tidak percaya diri terhadap statusnya janda anak satu. Pemikiran bahwa “Ga mungkin lah dia srius sama aku, paling juga cuma buat maen-maen aja,” atau “Lelaki, kalo macarin janda, ya paling begitu-begitu aja tujuannya. Toh, aku juga butuh, asas manfaat aja lah,” kerap datang di benak sahabat saya saat itu. Jadi, sampailah pada sebuah keputusan, sahabat saya tidak menggunakan hati selama awal masa pacarannya untuk meminimalkan sakit hati kalau-kalau hubungannya berakhir. Saya tergelitik dengan cerita sahabat saya. Bukan apa-apa, saya sedang berada di fase yang sama seperti sahabat saya dulu. Sedang menutup hati untuk meminimalkan sakit hati.

Saya memiliki kecenderungan dekat dengan lelaki-lelaki yang masuk dalam kategori Bad Guy. Ya jelas lah, hubungan-hubungan yang saya jalani dengan para lelaki tersebut pastinya porak-poranda tak bersisa. Hal yang dari dulu berusaha saya cari latarbelakangnya namun belum juga ketemu sampai saya berbincang dengan sahabat saya, MENGAPA SAYA SERINGNYA BERHUBUNGAN DENGAN PARA BAD GUY????  Ternyata oh ternyata, ada kaitannya dengan masa lalu saya. Masa lalu saya bukanlah masa lalu yang bisa diterima dengan mudah oleh para lelaki terutama lelaki dengan latar belakang lurus-lurus saja. Lha seringnya, lelaki-lelaki brengsek saja kadang kalau cari istri sok-sokan cuma mau sama perempuan baik-baik. Apalagi lelaki yang baik-baik saja hidupnya, ya wajar kalau mencari istri yang minimal sama baiknya lah dengan mereka. Taruhlah contoh, ya kaya kasus twitter seorang motivator tempo hari itu (saya lupa isi pasti twitternya): “Perempuan yang merokok, suka dunia malam, chit chat snob, bukan kriteria istri yang baik.” Kalau seorang motivator kondang yang harusnya netral saja bersikap seperti itu, apalagi para lelaki yang bukan motivator dan tidak kondang. Pastilah sebelas duabelas pikiran mereka dengan motivator tersebut tentang perempuan yang ideal sebagai calon istri. Terjadilah proses labeling yang subyektif. Daripada nanti berhubungan dengan lelaki baik-baik yang memunculkan kecenderungan untuk bermasalah dengan masa lalu saya, ya lelaki brengsek tampak lebih masuk akal. Pemikiran simpel, sederhana (tapi sangat merusak).


Teman saya pernah menanyakan mau sampai kapan saya akan mbulet dengan pola saya. Dan saya tidak pernah bisa menjawabnya. Bukan saya tidak ingin menjalin hubungan dengan lelaki tepat dan baik hati yang mau menerima saya apa adanya.  Saya mau. Teramat mau. Dulu pernah saya coba. Saya berhubungan dengan seorang yang lurus-lurus saja hidupnya. Baik sepertinya. Ketika saya sudah merasa dekat, mulai percaya padanya, mulai menggunakan hati, saya ceritakanlah padanya masa lalu saya. Dan, lelaki itu pun pergi begitu saja. Sakit hati lagi saya. Ya akhirnya ya begini-begini ini saya. Cari cara aman untuk tidak sakit hati, dengan sendiri saja (walaupun kesendirian itu luar biasa menyiksa saya, tapi kalau dibandingkan dengan berpasangan dan memiliki kemungkinan besar untuk sakit hati parah, saya milih sendiri dulu ajah..zona aman, huh..). Daaaaaaaaaan, lebih baik juga saya sendiri daripada saya nanti nyantol lagi sama lelaki-lelaki brengsek. Bodo lah orang bilang, “Ya ampuuun, mbak. Uda umur berapa..” Preeeeeeeeet..

Saya hanya akan menunggu lelaki yang tepat saja kalau begitu. Yang baik hati dan tidak sombong. Yang mau menerima saya apa adanya. Yang berpikir sejuta kali untuk menyakiti hati saya. Yang open mind. Yang nanti akan datang untuk membuka kembali hati saya. Dan tentunya yang bisa betah sama rewelnya saya.

(sebuah tulisan sebagai imbas PMS)

5.10.2010

Jogjakarta

Saya meninggalkan Jogja. Kota dimana saya menghabiskan empat tahun terakhir kehidupan saya. Dimulai dari sebuah bencana berskala nasional yang penuh air mata hingga seremonial wisuda paska sarjana yang gegap gempita. Empat tahun menorehkan begitu banyak cerita. Menyenangkan, menyedihkan, menggembirakan, menyebalkan hingga yang tak terdefinisikan. Mulai dari banyak duit, bergaya hura-hura hingga kejadian ngesot tanpa uang sepeserpun di dompet, dibelain ngutang dan menjual diri hingga Cilacap. Diawali dengan Marlboro Light Menthol, Lucky Strike Menthol, Avolution Menthol dan pada akhirnya cukup dengan Xylithol.

Jogja. Kota kecil yang sekarang sumpah-sumpah penuh sesaknya. Kota yang kabarnya terkenal dengan biaya hidupnya yang rendah (walaupun itu tidak berlaku juga bagi saya, mengingat defisit sering menghampiri saya di akhir bulan). Warung kopi dengan akses internet yang oke dan harga terjangkau. Kota dengan akses rata-rata 15 menit ke segala penjuru kota (ingat, penjuru kota, bukan kabupaten). Kesenian yang merakyat dan mudah ditemui di banyak tempat. Mulai dari pasar malam sampai pameran lukisan bernilai puluhan juta. Kebebasan berekspresi yang seolah-olah enggan untuk terbatasi oleh norma. Dari pasangan lawan jenis hingga yang sejenis. Ini Jogja (yang sepertinya milik) saya.

Jogja. Dimana persahabatan terjalin di antara teman-teman yang saya tidak perhitungkan sebelumnya. Teman-teman yang (mereka bilang) saya acuhkan. Teman-teman yang ada ketika saya membutuhkannya. Teman-teman yang dengan sukarela menerima saya menonton televisi dengan tidak tahu dirinya di kamar mereka. Belum lagi ketika saya menjarah ransum yang ada di lemari mereka. Teman-teman yang dengan terbuka menerima teriakan-teriakan absen saya yang ga penting. Teman-teman yang jadi jujugan ketika dompet kosong mlompong. “Pinjem si duitnya dulu buat bli makan.” Teman-teman yang sangat membantu saya melupakan sejenak kegelisahan saya terkait dengan pekerjaan, jodoh dan usia (karena mereka masih belum ke situ pikirannya..hehehehehehe..). Teman-teman kecil saya yang saya rindukan.

Jogja. Ketika Universitas Gadjah Mada menjadi momok bagi saya (setelah kegagalan saya menembus UI, saya jadi traumatis dengan universitas negeri). Ketidaksesuaian nilai yang saya anut dengan nilai yang berlaku di kampus. Keraguan saya akan kemampuan saya berjuang menyelesaikan studi. Pengkhianatan dan kemunafikan yang menjadi menu standar dalam lingkup pergaulan yang orang bilang dunia kaum cendekia. Hingga penemuan teman yang sebenarnya. Teman-teman yang tidak harus bersama setiap hari namun ada di hati setiap waktu. Teman-teman yang menemani saya ketika akhirnya air mata itu datang kembali. Pelukan yang mampu memberikan semangat. Omelan yang termaknai sebagai perwujudan rasa sayang.

Jogja. Dimana saya belajar bahwa cinta tidak selamanya bisa memiliki. Dimana rasa sayang mampu bersifat satu arah. Dimana ada permusuhan yang seolah enggan saya akhiri. Dimana kebencian dan rindu bersahabat. Dimana saya perlu belajar banyak untuk menstabilkan emosi saya.

Dan inilah Jogja. Kota yang akan selalu memiliki tempat tersendiri di hati saya. Kota yang sangat bermakna bagi saya.










http://devry.wordpress.com


3.12.2010

Karena Dia

Ada lagu berjudul sama milik The Banery yang saya suka. Liriknya cukup menggambarkan apa yang pernah saya rasakan. Terutama refreinnya.


Semua karena dia
Diaa…..
Adalah penghancur
Penghancur hidupku
Diaa…
Adalah penghancur
Penghancur hidupku
Kan kuingat slalu Oh dirinya

Lelaki ini, sangat berarti bagi saya. Perannya tidak akan tergantikan oleh siapapun. Lelaki ini tahu kapan dia menyanjung saya, meletakkan saya di langit ketujuh. Lelaki ini pula, tahu kapan harus menghempaskan saya kembali ke bumi. Meninggikan saya kemudian merendahkan saya. Mengobati luka hati saya dan kemudian melukainya kembali lebih dalam. He knows.




Saya (S): Eniwei, aku membencimu.
Dia (D): Sama.

Atau

S: Tulisanmu tidak brubah, selalu menyakitkan.
D: I learnt from the best.
S: Kenalin si aku. Biar aku juga belajar.
D: Berkacalah.
S: Kacanya lagi burem, maaf tidak bisa berkaca.
D: yr problem

Atau

S: Oh Gosh, I hate you more than before
D: No problemo



Terbuat dari apalah hati lelaki ini. Saya membencinya sekaligus begitu mencintainya. Teman-teman saya mengatakan bahwa saya bodoh masih mencintainya dan begitu merindukannya. Ini masalah rasa. Ini apa yang saya rasakan. Memang, merindukannya, mencintainya berjalan seiring dengan tersakitinya hati saya. Kadang saya berharap dia mati. Atau kadang saya ingin ada seseorang yang menyakitinya begitu dalam hingga dia sinting gila. Saya ingin memeluknya erat dan kemudian menusuknya. Namun, ternyata, saya tidak ingin ada siapa pun atau apa pun yang membuatnya terluka.

Saya mengutuk semua keberuntungannya. Dengan semua kejahatan yang dia lakukan, dewi fortuna masih saja bersamanya. Lelaki ini dikelilingi oleh banyak cinta. Cinta dari orang-orang yang tersakiti olehnya. Terbuat dari apalah lelaki ini sehingga orang tidak sanggup membencinya sepenuh hati. Terbuat dari apalah lelaki ini sehingga orang-orang di sekelilingnya memenuhinya dengan cinta.


Saya pernah mencoba membereskan apa yang ditinggalkan lelaki ini dalam kehidupan saya. Berhasil, walaupun tidak sepenuhnya karena hanya bertahan beberapa bulan saja. Jejak lelaki ini kembali lagi terlihat dan mulai memancarkan auranya. Kilasan-kilasan memori kembali muncul di mimpi-mimpi saya dan membuat saya terjaga dengan perasaan kacau balau. Tidak hanya memori yang menyakitkan, namun yang menyenangkan pun kembali. Nirwana dan neraka pun bersanding dalam kehidupan saya.


Unfinished business kata teman-teman saya. Persetan dengan istilah itu. Saya ingat benar, lelaki ini tidak menyukai kepsikologian saya. Tidak ada gunanya saya menerapkan hal tersebut pada relasi saya dengan lelaki ini. Hanya masalah kejujuran hati sepertinya. Saya diminta untuk mau mengakui apa yang saya rasakan tentangnya. Dan menerimanya. Inilah yang saya rasakan. Saya membencinya, sekaligus mencintainya. Saya mengutuknya, sekaligus berharap yang terbaik untuknya. Saya ingin memeluknya, kemudian menusuknya. Saya ingin melihatnya menderita, sekaligus tidak menginginkan siapapun menyakitinya. Inkonsistensi huh.. Setau saya, konsistensi yang paling sejati ada pada sebuah inkonsitensi.. Hmmmmm..menyulitkan memang..


Ada waktunya nanti saya akan berdamai dengan diri saya tentang lelaki ini. Dan akan tiba saatnya, saya akan berdamai dengannya. Begitu juga dengannya. Lelaki luar biasa yang pernah saya temui. Lelaki hebat yang membuat saya menjadi perempuan hebat seperti saat ini. Lelaki yang pernah mencintai saya dan menjadikan saya bangga mencintainya. Hanya lelaki ini yang bisa melakukannya hingga saat ini.




http://www.fotosearch.com/ meminjamkan saya gambar

I Said I Love You

Tiga hari lalu, hujan badai maha dashyat berkunjung ke Jogja. Menciptakan kubangan-kubangan kecil di area kos saya. Dampaknya, lantai menjadi berbahaya karena super licin. Meskipun sudah berhati-hati, tetap saja saya terpeleset. Jatuh lah saya dari tangga dan warna ungu pun rata menghiasi tubuh. Belum lagi tulang ekor yang sakit dan kesulitan untuk beraktivitas. Termasuk juga tidur. Tersiksanya saya tiga hari terakhir ini. Duh, Gusti Allah, yayayayayayaya..


Selama tiga hari saya tidak bisa mengerjakan banyak hal. Terjebak di kos dengan lamunan jorok dan lamunan ga penting. Melo yelo belo gitu lah jadinya. Hingga akhirnya secara impulsif, otak saya berpikir tentang tiga kata: I LOVE YOU. Waktu zaman ABG, tiga kata itu jadi senjata andalan buat nembak cewek. Rasanya belum afdol kalau dalam prosesi penembakan tidak ada tiga kata tersebut. Namun, saya justru jijik ketika seorang cowok –yang notabene masih abg gila- mengatakan I LOVE YOU pada saya. Bieeeeeeuhhhh, apalah cinta-cintaan ini dalam benak saya. Apa pula pemaknaan cinta versi ABG ini? Saya lebih suka ketika seorang cowok mengatakan bahwa dia menyukai saya dan ingin menjadi pacar saya daripada dia bilang I LOVE YOU ga jelas itu. Waktu itu tapi..waktu itu..waktu dimana saya masih bau kencur dan idealis mampus. Waktu dimana saya masih belum tahu bedanya pensil alis sama pensil bibir. Waktu dimana saya cuma tahu bedak talk. Waktu saya masih imut meskipun jadi tukang bullying sejati.


Lain dulu, lain lah sekarang. Saya memuja tiga kata itu. Muatan energi positifnya sangat besar. Hanya saja, tetep dong ya ada aja kendalanya. Di Indonesia Raya tercinta ini, diskriminasi gender cukup besar dan mengintimidasi. Apabila seorang perempuan berkata I LOVE YOU pada seorang lelaki, beban psikologisnya cukup mengganggu. Makanya, masih saja saya menemui pernyataan-pernyataan “Amit, amit ye gw bilang i love u ke dia duluan. Yang laki siapa, bu..”. Kalau saja saya menganut aliran semacam itu, susah saya. Maklum, saya penganut paham ekspresif impulsif. Selalu ekspresif dalam menampilkan rasa karena dorongan impulsif yang membuncah. Termasuk rasa cinta.




Apa yang salah dengan mengatakan I LOVE YOU terlebih dahulu? Kalau yang saya rasakan itu ya kenapa. Kenapa harus saya tahan? Cuma bikin jerawat saja. Saya sering menekankan pada orang-orang yang apes menjadi klien saya tentang hal ini. Bahwa tidak ada yang salah dengan tiga kata itu. Katakanlah kalau memang itu yang dirasakan. “Tapi dia uda nyakitin aku banget, mbak.” So what..???? Apakah kita tidak boleh mencintai orang yang sudah menyakiti kita..? Apakah kita hanya boleh mengatakan I LOVE YOU pada orang yang telah mengatakan itu terlebih dulu pada kita..? Ini masalah apa yang kita rasa. Dan cinta merupakan sebuah rasa yang luar biasa positifnya. Jadi, buat apa kita menahan sesuatu yang sifatnya positif? Tidak ada hukumnya sesuatu yang positif itu menciptakan kejelekan. Tidak ada. Hal positif akan direspon positif oleh alam semesta.


“Saya takut dia tidak membalas cinta saya.” Hahahahaha, masalah untung rugi jadinya. Takut dan berani. Keseimbangan. Bersyarat. Kenapa kalau dia tidak membalas cinta kita..? Kita rugi..? Kita tidak seimbang dengannya..? Selesai hidup kita..? Kita mati..? Belajarlah untuk jujur terhadap diri kita sendiri. Memiliki cinta dan mengekspresikannya merupakan kebutuhan, bukan lagi keinginan. Kebutuhan itu perlu dipenuhi, sedangkan keinginan, tidak selamanya harus dituruti. Apa yang kita rasakan ketika kita tahu ada seseorang mencintai kita? Ada perasaan senang jauh di dasar hati kita, sekalipun kita tidak bisa membalas cinta tersebut. Ya seperti itu lah perasaan orang lain ketika kita berkata I LOVE YOU kepadanya. Tidak perlu mengkhawatirkan apa yang dia rasakan, apakah dia akan membalas cintaku atau tidak, apakah dia membenciku atau beribu-ribu apakah lainnya. Berhentilah dengan kecemasan tak berdasar itu. Kita hanya sedang mengeluarkan energi positif. Kita bukan menyakiti, berbuat onar atau bertindak jahat. Kita kan sedang mengatakan I LOVE YOU, bukan memaksa orang tersebut mengatakan I LOVE YOU TOO..




Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan mengatakan I LOVE YOU. Katakanlah sebanyak mungkin, sesuai dengan yang kita rasa. Jangan bohong tapi. Kita sedang tidak merasakan cinta, ngotot bilang cinta. Nenek bilang, itu berbahaya. Jujurlah dengan diri kita tentang apa yang kita rasa. Cinta bilang cinta. Sayang bilang sayang.. I LOVE YOU..








pinjam gambar dari http://www.fotosearch.com/

3.11.2010

..And The Tears are Gone..

Saya, seorang perempuan dengan tampang sangar, bodi preman tapi berhati melankolis. Sangat mudah menangis di berbagai kondisi. Senang, saya menangis. Sedih, saya menangis. Marah, saya menangis. Bahkan takut pun, saya menangis. Intinya saya itu cengeng. Bagi orang yang baru pertama kali melihat saya menangis, pasti akan takjub. Air mata yang mengalir di wajah saya tampak sangat seksi. “Woooooo, mbaknya seksi pas nangis.” Ya iyalah, dengan adanya air mata di wajah saya, kesangaran dan kepremanan saya menjadi lebih manusiawi. Saya tampak seperti manusia biasa yang punya kelemahan (ciiieeeee..s.o.n.g.o.n.g dikit bole lah). Namun, air mata saya yang sering mengalir justru menjadi malapetaka ketika berhadapan dengan mantan pacar saya (waktu itu masih lah menjadi pacar saya). “Uda si, nangis mulu. Gampang bener si nangis.” Atau kalau tidak, ketika saya mulai mewek, ditinggal lah saya. Dibiarkannya saya menangis sendiri. Bosan mungkin para mantan-mantan pacar saya itu melihat air mata yang tidak pernah ada habisnya.

Saya tidak pernah malu mengakui saya itu mudah sekali meneteskan air mata. Dari air mata dengan kecepatan 10 mm/menit hingga 120 km/jam, saya bisa lakukan itu semua. Menangis sesunggukan, menangis tanpa suara hingga menangis dengan meraung-raung, saya ahlinya. Bagi saya, menangis dan air mata merupakan alat untuk mengeluarkan penat emosi yang paling aman dan berikut ini adalah alasannya:

1. Murah (saya tidak akan menulis tanpa biaya, karena setidaknya saya harus mengeluarkan uang untuk membeli tissue, ada orang yang kalau lagi bad mood, pengekspresiannya dengan belanja, susah kan, bayangkan berapa uang yang keluar setiap kali orang tersebut kalap).

2. Tidak terlalu merepotkan orang lain (biasanya kalau saya menangis kencang, saya hanya perlu dipeluk, kemungkinan yang terjadi: tangisan saya akan bertambah kencang atau justru mereda).

3. Mudah (karena saya bisa melakukannya di berbagai kondisi, tempat dan posisi, regulasi emosi saya berlangsung dengan baik, tidak perlu mengosongkan jadwal hanya untuk menangis).

4. Tidak menyakiti orang lain (bayangkan kalau saya memilih mengekspresikan kemarahan saya dengan memukuli atau memaki orang yang membuat saya marah, berapa banyak orang yang sudah saya sakiti).

5. Aman (saya cukup menangis, maka perasaan saya bisa plong, tangisan saya tidak disertai dengan perilaku aneh-aneh lainnya, seperti self injury atau percobaan bunuh diri dengan racun, obat tidur atau terjun dari mall).

Luar biasa bukan efek dari tetesan air mata yang mengalir di wajah saya? Air mata merupakan salah satu ciptaan empunya alam semesta yang luar biasa hebatnya dan sangat mengagumkan. Saya tergila-gila dengan satu hal ini. Saya memujanya. Thanks God. Namun, saya tidak bisa menangis sejak 3 bulan lalu.

Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, saya bisa menangis di berbagai kondisi. Tidak perlu menunggu momen sedih saja. Momen menyenangkan juga bisa membuat saya menangis. Namun tidak dengan kondisi saya saat ini. Ketika saya wisuda program magister saya, yang saya lalui dengan penuh pengorbanan (3x saya ikut ujian masuk UI, mental. Hingga akhirnya UGM menerima saya, kuliah yang melelahkan, menguras tenaga dan dompet, tesis yang berbelit-belit dan cobaan dimana pembimbing saya meninggal, semua mewarnai perkuliahan saya, hingga akhirnya saya bisa meraih predikat yang luar biasa bagi saya “CUM LAUDE”), saya justru tidak bisa menangis ketika seremonial wisuda tersebut berlangsung. Bahkan ketika prosesi angkat sumpah sebagai seorang psikolog, yang kata orang penuh dengan suasana haru biru, saya tetap tidak bisa menangis. Kemana air mata saya..?

Pergulatan hidup paska wisuda, sebagai job seeker, pencarian eksistensi diri di usia memasuki 30 tahun dan masih belum bisa berdiri di atas kaki sendiri, krisis percaya diri karena belum bekerja, keinginan memiliki pasangan, kerinduan melakukan aktivitas bersama pasangan, konflik dengan orangtua karena masih merepotkan mereka, jalan menuju cita-cita yang masih panjang, proses mencari kerja yang melelahkan dengan hasil tidak sesuai harapan hingga pertanyaan retorik terhadap kapabilitas diri, hanya mampu membuat dada saya sesak dan mata saya berkaca-kaca. Tidak cukup mampu membuat air mata mengalir di wajah saya. Kemana air mata saya..?

Momen senang, sedih, kemarahan yang awalnya dengan mudah membuat saya menangis, kini tidak lagi mampu menggerakkan otak saya untuk memerintahkan agar air mata saya turun. Hanya meninggalkan rasa sesak di dada saya. Gosh, I hate this situation. Air mata yang membantu saya untuk meregulasi emosi agar saya tetap berfungsi sepenuhnya, air mata yang bertugas menguras emosi negatif dalam tangki emosi diri saya, air mata yang mendampingi saya di berbagai peristiwa, saat ini sedang pergi entah kemana. Ada yang hilang dalam diri saya. Ketika tulisan ini saya buat, dorongan menangis sangat besar, namun seperti biasa, dorongan tersebut terhenti. Sekali lagi, meninggalkan kesesakan.

Saya merindukan diri saya menangis dan ketika air mata memenuhi wajah saya..

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
catatan kecil: seperti biasa http://www.fotosearch.com/ membantu saya mendapatkan gambar untuk ditampilkan

;;