“Denda
100jt lo nanya begonoan!’ cerita seorang teman berkisah tentang
seringnya pertanyaan itu muncul. Kisah sama juga saya alami. Namun seringnya,
sebelum orang nanya, saya yang nanya duluan, “Kapan ini saya kawin…?” Salah juga jadinya, karena biasanya orang
yang saya tanya justru semakin panjang komennya. Mbulet aja ga selesai-selesai.
Kawin atau nikah (tergantung kita suka yang mana) jadi topik
menarik (yang cenderung mengkhawatirkan) di usia saya yang sudah kepala 3
(ketauan kan, tua). Kenapa menarik? Karena bagi orang-orang, menyenangkan
menggunjingkan status lajang saya, “Percuma,
ayu, pinter, sugih, tapi ora payu-payu.” (Percuma, cantik, pintar, kaya
tapi ga laku-laku). Atau menjadi mengkhawatirkan, karena mulai menjadi tuntutan
dari keluarga (ibu terutama), “Mbok ya
kalau punya pacar jangan disimpen sendiri, dikenalin lah.” Hadeuuuuuuuh…
Saya ingat, dulu, ketika usia saya di pertengahan 20, lagi
semangat-semangatnya jadi pegawai, saya minta dikenalkan dengan anak kolega
orangtua yang sosialita gitu deh. Eh, mak saya komennya begini : “Jodoh ga usah dicari. Ga usah khawatir.
Umur masih seiprit ini.” Nah ini,
mak saya juga yang bingung: “Kenapa anak
gue belon kawin-kawin umur segini”. Nyesel kali ya mak saya dulu ga mau
nyariin jodoh buat saya.
“Kamu aja
yang kebanyakan milih, kebanyakan mau, kebanyakan mikir, makanya ga
kawin-kawin.” Itu komentar paling banyak yang ditujukan ke saya.
Apa iya begitu?
- Kalau
milih, ya iya lah saya harus milih. Secara ini hingga maut memisahkan katanya.
Kalau ga milih, tunjuk aja sembarang orang, diajak kawin, selesai.
- Masalah
mau, ya iya lah saya punya serangkaian mau. Momen sekali seumur hidup. Masa
maunya orang yang saya pakai buat momen once in a life itu.
- Kebanyakan
mikir, nah ini yang susah. Karakter zodiac saya bilang saya itu suka
mikir. Memang begono ternyata.
Merasa agak sedikit berlebihan dengan respon saya terhadap
masalah nikah atau kawin ini, saya dengan kesadaran penuh berkonsultasi lah
dengan para psikolog senior. Hasilnya adalah satu hal, SAYA MEMANG BELUM SIAP
untuk mengarungi bahtera rumahtangga katanya. Percuma juga nanya apa yang bikin
saya belum siap, karena jawabannya nanti akan membentang dari Sabang sampai
Merauke. Jago ngeles begini soalnya.
Saya suka bingung kalau orang nanya “Kapan kawin?”. Bukan
bingung jawabnya, tapi bingung kenapa sih orang mau tau aja kapan saya kawin.
Memang kalau saya kawin, yang nanya itu mau ikut bayarin? Nanti kalau saya
sudah kawin, ditanya lagi, “Kapan ini momongannya?”. Sudah punya momongan,
“Kapan ini adeknya dibikin?”. Sudah ada adiknya, ditanya lagi, “Kapan mantu?”.
Kapan coba selesainya mereka nanya. Daripada mereka sibuk nanya kapan saya
kawin, mending banget mereka berdoa supaya saya cepet kawin. Habis saya kawin,
mereka berdoa saya cepet punya momomgan. Dan seterusnya. Lebih bermanfaat
bukan? Ga usah banyak nanya, langsung ke tindakan. Begono yang bener.
Sejauh ini, saya menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan kapan
kawin ini tanda kepedulian mereka pada saya. Walaupun sepertinya sebentar lagi
masuk pada tahap gangguan. Hanya saja, kalau orang-orang berhenti bertanya
kapan kawin, saya pasti akan merasa kehilangan. Sebuah paradoks. Ya begitu lah
hidup saya, penuh dengan paradoks. Dinikmati, disyukuri. Kalau kata Indy
Barends di akun perburungannya, “Mata berat, badan berat, santeeeeeey. Asal
hidup jangan dirasa berat.”
 |
Kalau ditanya, "Kapan kawin?", dijawab, "Santeeeeeey..." |
0 komentar:
Posting Komentar