10.31.2012

Kapan Kawin...?

“Denda 100jt lo nanya begonoan!’ cerita seorang teman berkisah tentang seringnya pertanyaan itu muncul. Kisah sama juga saya alami. Namun seringnya, sebelum orang nanya, saya yang nanya duluan, “Kapan ini saya kawin…?” Salah juga jadinya, karena biasanya orang yang saya tanya justru semakin panjang komennya. Mbulet aja ga selesai-selesai.

Kawin atau nikah (tergantung kita suka yang mana) jadi topik menarik (yang cenderung mengkhawatirkan) di usia saya yang sudah kepala 3 (ketauan kan, tua). Kenapa menarik? Karena bagi orang-orang, menyenangkan menggunjingkan status lajang saya, “Percuma, ayu, pinter, sugih, tapi ora payu-payu.” (Percuma, cantik, pintar, kaya tapi ga laku-laku). Atau menjadi mengkhawatirkan, karena mulai menjadi tuntutan dari keluarga (ibu terutama), Mbok ya kalau punya pacar jangan disimpen sendiri, dikenalin lah. Hadeuuuuuuuh…

Saya ingat, dulu, ketika usia saya di pertengahan 20, lagi semangat-semangatnya jadi pegawai, saya minta dikenalkan dengan anak kolega orangtua yang sosialita gitu deh. Eh, mak saya komennya begini : Jodoh ga usah dicari. Ga usah khawatir. Umur masih seiprit ini.  Nah ini, mak saya juga yang bingung: Kenapa anak gue belon kawin-kawin umur segini. Nyesel kali ya mak saya dulu ga mau nyariin jodoh buat saya.

Kamu aja yang kebanyakan milih, kebanyakan mau, kebanyakan mikir, makanya ga kawin-kawin.Itu komentar paling banyak yang ditujukan ke saya. Apa iya begitu?


  • Kalau milih, ya iya lah saya harus milih. Secara ini hingga maut memisahkan katanya. Kalau ga milih, tunjuk aja sembarang orang, diajak kawin, selesai.
  • Masalah mau, ya iya lah saya punya serangkaian mau. Momen sekali seumur hidup. Masa maunya orang yang saya pakai buat momen once in a life itu.
  • Kebanyakan mikir, nah ini yang susah. Karakter zodiac saya bilang saya itu suka mikir. Memang begono ternyata.
Merasa agak sedikit berlebihan dengan respon saya terhadap masalah nikah atau kawin ini, saya dengan kesadaran penuh berkonsultasi lah dengan para psikolog senior. Hasilnya adalah satu hal, SAYA MEMANG BELUM SIAP untuk mengarungi bahtera rumahtangga katanya. Percuma juga nanya apa yang bikin saya belum siap, karena jawabannya nanti akan membentang dari Sabang sampai Merauke. Jago ngeles begini soalnya.

Saya suka bingung kalau orang nanya “Kapan kawin?”. Bukan bingung jawabnya, tapi bingung kenapa sih orang mau tau aja kapan saya kawin. Memang kalau saya kawin, yang nanya itu mau ikut bayarin? Nanti kalau saya sudah kawin, ditanya lagi, “Kapan ini momongannya?”. Sudah punya momongan, “Kapan ini adeknya dibikin?”. Sudah ada adiknya, ditanya lagi, “Kapan mantu?”. Kapan coba selesainya mereka nanya. Daripada mereka sibuk nanya kapan saya kawin, mending banget mereka berdoa supaya saya cepet kawin. Habis saya kawin, mereka berdoa saya cepet punya momomgan. Dan seterusnya. Lebih bermanfaat bukan? Ga usah banyak nanya, langsung ke tindakan. Begono yang bener.

Sejauh ini, saya menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan kapan kawin ini tanda kepedulian mereka pada saya. Walaupun sepertinya sebentar lagi masuk pada tahap gangguan. Hanya saja, kalau orang-orang berhenti bertanya kapan kawin, saya pasti akan merasa kehilangan. Sebuah paradoks. Ya begitu lah hidup saya, penuh dengan paradoks. Dinikmati, disyukuri. Kalau kata Indy Barends di akun perburungannya, “Mata berat, badan berat, santeeeeeey. Asal hidup jangan dirasa berat.” 

Kalau ditanya, "Kapan kawin?", dijawab, "Santeeeeeey..."

0 komentar:

Posting Komentar