3.12.2010

Karena Dia

Ada lagu berjudul sama milik The Banery yang saya suka. Liriknya cukup menggambarkan apa yang pernah saya rasakan. Terutama refreinnya.


Semua karena dia
Diaa…..
Adalah penghancur
Penghancur hidupku
Diaa…
Adalah penghancur
Penghancur hidupku
Kan kuingat slalu Oh dirinya

Lelaki ini, sangat berarti bagi saya. Perannya tidak akan tergantikan oleh siapapun. Lelaki ini tahu kapan dia menyanjung saya, meletakkan saya di langit ketujuh. Lelaki ini pula, tahu kapan harus menghempaskan saya kembali ke bumi. Meninggikan saya kemudian merendahkan saya. Mengobati luka hati saya dan kemudian melukainya kembali lebih dalam. He knows.




Saya (S): Eniwei, aku membencimu.
Dia (D): Sama.

Atau

S: Tulisanmu tidak brubah, selalu menyakitkan.
D: I learnt from the best.
S: Kenalin si aku. Biar aku juga belajar.
D: Berkacalah.
S: Kacanya lagi burem, maaf tidak bisa berkaca.
D: yr problem

Atau

S: Oh Gosh, I hate you more than before
D: No problemo



Terbuat dari apalah hati lelaki ini. Saya membencinya sekaligus begitu mencintainya. Teman-teman saya mengatakan bahwa saya bodoh masih mencintainya dan begitu merindukannya. Ini masalah rasa. Ini apa yang saya rasakan. Memang, merindukannya, mencintainya berjalan seiring dengan tersakitinya hati saya. Kadang saya berharap dia mati. Atau kadang saya ingin ada seseorang yang menyakitinya begitu dalam hingga dia sinting gila. Saya ingin memeluknya erat dan kemudian menusuknya. Namun, ternyata, saya tidak ingin ada siapa pun atau apa pun yang membuatnya terluka.

Saya mengutuk semua keberuntungannya. Dengan semua kejahatan yang dia lakukan, dewi fortuna masih saja bersamanya. Lelaki ini dikelilingi oleh banyak cinta. Cinta dari orang-orang yang tersakiti olehnya. Terbuat dari apalah lelaki ini sehingga orang tidak sanggup membencinya sepenuh hati. Terbuat dari apalah lelaki ini sehingga orang-orang di sekelilingnya memenuhinya dengan cinta.


Saya pernah mencoba membereskan apa yang ditinggalkan lelaki ini dalam kehidupan saya. Berhasil, walaupun tidak sepenuhnya karena hanya bertahan beberapa bulan saja. Jejak lelaki ini kembali lagi terlihat dan mulai memancarkan auranya. Kilasan-kilasan memori kembali muncul di mimpi-mimpi saya dan membuat saya terjaga dengan perasaan kacau balau. Tidak hanya memori yang menyakitkan, namun yang menyenangkan pun kembali. Nirwana dan neraka pun bersanding dalam kehidupan saya.


Unfinished business kata teman-teman saya. Persetan dengan istilah itu. Saya ingat benar, lelaki ini tidak menyukai kepsikologian saya. Tidak ada gunanya saya menerapkan hal tersebut pada relasi saya dengan lelaki ini. Hanya masalah kejujuran hati sepertinya. Saya diminta untuk mau mengakui apa yang saya rasakan tentangnya. Dan menerimanya. Inilah yang saya rasakan. Saya membencinya, sekaligus mencintainya. Saya mengutuknya, sekaligus berharap yang terbaik untuknya. Saya ingin memeluknya, kemudian menusuknya. Saya ingin melihatnya menderita, sekaligus tidak menginginkan siapapun menyakitinya. Inkonsistensi huh.. Setau saya, konsistensi yang paling sejati ada pada sebuah inkonsitensi.. Hmmmmm..menyulitkan memang..


Ada waktunya nanti saya akan berdamai dengan diri saya tentang lelaki ini. Dan akan tiba saatnya, saya akan berdamai dengannya. Begitu juga dengannya. Lelaki luar biasa yang pernah saya temui. Lelaki hebat yang membuat saya menjadi perempuan hebat seperti saat ini. Lelaki yang pernah mencintai saya dan menjadikan saya bangga mencintainya. Hanya lelaki ini yang bisa melakukannya hingga saat ini.




http://www.fotosearch.com/ meminjamkan saya gambar

I Said I Love You

Tiga hari lalu, hujan badai maha dashyat berkunjung ke Jogja. Menciptakan kubangan-kubangan kecil di area kos saya. Dampaknya, lantai menjadi berbahaya karena super licin. Meskipun sudah berhati-hati, tetap saja saya terpeleset. Jatuh lah saya dari tangga dan warna ungu pun rata menghiasi tubuh. Belum lagi tulang ekor yang sakit dan kesulitan untuk beraktivitas. Termasuk juga tidur. Tersiksanya saya tiga hari terakhir ini. Duh, Gusti Allah, yayayayayayaya..


Selama tiga hari saya tidak bisa mengerjakan banyak hal. Terjebak di kos dengan lamunan jorok dan lamunan ga penting. Melo yelo belo gitu lah jadinya. Hingga akhirnya secara impulsif, otak saya berpikir tentang tiga kata: I LOVE YOU. Waktu zaman ABG, tiga kata itu jadi senjata andalan buat nembak cewek. Rasanya belum afdol kalau dalam prosesi penembakan tidak ada tiga kata tersebut. Namun, saya justru jijik ketika seorang cowok –yang notabene masih abg gila- mengatakan I LOVE YOU pada saya. Bieeeeeeuhhhh, apalah cinta-cintaan ini dalam benak saya. Apa pula pemaknaan cinta versi ABG ini? Saya lebih suka ketika seorang cowok mengatakan bahwa dia menyukai saya dan ingin menjadi pacar saya daripada dia bilang I LOVE YOU ga jelas itu. Waktu itu tapi..waktu itu..waktu dimana saya masih bau kencur dan idealis mampus. Waktu dimana saya masih belum tahu bedanya pensil alis sama pensil bibir. Waktu dimana saya cuma tahu bedak talk. Waktu saya masih imut meskipun jadi tukang bullying sejati.


Lain dulu, lain lah sekarang. Saya memuja tiga kata itu. Muatan energi positifnya sangat besar. Hanya saja, tetep dong ya ada aja kendalanya. Di Indonesia Raya tercinta ini, diskriminasi gender cukup besar dan mengintimidasi. Apabila seorang perempuan berkata I LOVE YOU pada seorang lelaki, beban psikologisnya cukup mengganggu. Makanya, masih saja saya menemui pernyataan-pernyataan “Amit, amit ye gw bilang i love u ke dia duluan. Yang laki siapa, bu..”. Kalau saja saya menganut aliran semacam itu, susah saya. Maklum, saya penganut paham ekspresif impulsif. Selalu ekspresif dalam menampilkan rasa karena dorongan impulsif yang membuncah. Termasuk rasa cinta.




Apa yang salah dengan mengatakan I LOVE YOU terlebih dahulu? Kalau yang saya rasakan itu ya kenapa. Kenapa harus saya tahan? Cuma bikin jerawat saja. Saya sering menekankan pada orang-orang yang apes menjadi klien saya tentang hal ini. Bahwa tidak ada yang salah dengan tiga kata itu. Katakanlah kalau memang itu yang dirasakan. “Tapi dia uda nyakitin aku banget, mbak.” So what..???? Apakah kita tidak boleh mencintai orang yang sudah menyakiti kita..? Apakah kita hanya boleh mengatakan I LOVE YOU pada orang yang telah mengatakan itu terlebih dulu pada kita..? Ini masalah apa yang kita rasa. Dan cinta merupakan sebuah rasa yang luar biasa positifnya. Jadi, buat apa kita menahan sesuatu yang sifatnya positif? Tidak ada hukumnya sesuatu yang positif itu menciptakan kejelekan. Tidak ada. Hal positif akan direspon positif oleh alam semesta.


“Saya takut dia tidak membalas cinta saya.” Hahahahaha, masalah untung rugi jadinya. Takut dan berani. Keseimbangan. Bersyarat. Kenapa kalau dia tidak membalas cinta kita..? Kita rugi..? Kita tidak seimbang dengannya..? Selesai hidup kita..? Kita mati..? Belajarlah untuk jujur terhadap diri kita sendiri. Memiliki cinta dan mengekspresikannya merupakan kebutuhan, bukan lagi keinginan. Kebutuhan itu perlu dipenuhi, sedangkan keinginan, tidak selamanya harus dituruti. Apa yang kita rasakan ketika kita tahu ada seseorang mencintai kita? Ada perasaan senang jauh di dasar hati kita, sekalipun kita tidak bisa membalas cinta tersebut. Ya seperti itu lah perasaan orang lain ketika kita berkata I LOVE YOU kepadanya. Tidak perlu mengkhawatirkan apa yang dia rasakan, apakah dia akan membalas cintaku atau tidak, apakah dia membenciku atau beribu-ribu apakah lainnya. Berhentilah dengan kecemasan tak berdasar itu. Kita hanya sedang mengeluarkan energi positif. Kita bukan menyakiti, berbuat onar atau bertindak jahat. Kita kan sedang mengatakan I LOVE YOU, bukan memaksa orang tersebut mengatakan I LOVE YOU TOO..




Sekali lagi, tidak ada yang salah dengan mengatakan I LOVE YOU. Katakanlah sebanyak mungkin, sesuai dengan yang kita rasa. Jangan bohong tapi. Kita sedang tidak merasakan cinta, ngotot bilang cinta. Nenek bilang, itu berbahaya. Jujurlah dengan diri kita tentang apa yang kita rasa. Cinta bilang cinta. Sayang bilang sayang.. I LOVE YOU..








pinjam gambar dari http://www.fotosearch.com/

3.11.2010

..And The Tears are Gone..

Saya, seorang perempuan dengan tampang sangar, bodi preman tapi berhati melankolis. Sangat mudah menangis di berbagai kondisi. Senang, saya menangis. Sedih, saya menangis. Marah, saya menangis. Bahkan takut pun, saya menangis. Intinya saya itu cengeng. Bagi orang yang baru pertama kali melihat saya menangis, pasti akan takjub. Air mata yang mengalir di wajah saya tampak sangat seksi. “Woooooo, mbaknya seksi pas nangis.” Ya iyalah, dengan adanya air mata di wajah saya, kesangaran dan kepremanan saya menjadi lebih manusiawi. Saya tampak seperti manusia biasa yang punya kelemahan (ciiieeeee..s.o.n.g.o.n.g dikit bole lah). Namun, air mata saya yang sering mengalir justru menjadi malapetaka ketika berhadapan dengan mantan pacar saya (waktu itu masih lah menjadi pacar saya). “Uda si, nangis mulu. Gampang bener si nangis.” Atau kalau tidak, ketika saya mulai mewek, ditinggal lah saya. Dibiarkannya saya menangis sendiri. Bosan mungkin para mantan-mantan pacar saya itu melihat air mata yang tidak pernah ada habisnya.

Saya tidak pernah malu mengakui saya itu mudah sekali meneteskan air mata. Dari air mata dengan kecepatan 10 mm/menit hingga 120 km/jam, saya bisa lakukan itu semua. Menangis sesunggukan, menangis tanpa suara hingga menangis dengan meraung-raung, saya ahlinya. Bagi saya, menangis dan air mata merupakan alat untuk mengeluarkan penat emosi yang paling aman dan berikut ini adalah alasannya:

1. Murah (saya tidak akan menulis tanpa biaya, karena setidaknya saya harus mengeluarkan uang untuk membeli tissue, ada orang yang kalau lagi bad mood, pengekspresiannya dengan belanja, susah kan, bayangkan berapa uang yang keluar setiap kali orang tersebut kalap).

2. Tidak terlalu merepotkan orang lain (biasanya kalau saya menangis kencang, saya hanya perlu dipeluk, kemungkinan yang terjadi: tangisan saya akan bertambah kencang atau justru mereda).

3. Mudah (karena saya bisa melakukannya di berbagai kondisi, tempat dan posisi, regulasi emosi saya berlangsung dengan baik, tidak perlu mengosongkan jadwal hanya untuk menangis).

4. Tidak menyakiti orang lain (bayangkan kalau saya memilih mengekspresikan kemarahan saya dengan memukuli atau memaki orang yang membuat saya marah, berapa banyak orang yang sudah saya sakiti).

5. Aman (saya cukup menangis, maka perasaan saya bisa plong, tangisan saya tidak disertai dengan perilaku aneh-aneh lainnya, seperti self injury atau percobaan bunuh diri dengan racun, obat tidur atau terjun dari mall).

Luar biasa bukan efek dari tetesan air mata yang mengalir di wajah saya? Air mata merupakan salah satu ciptaan empunya alam semesta yang luar biasa hebatnya dan sangat mengagumkan. Saya tergila-gila dengan satu hal ini. Saya memujanya. Thanks God. Namun, saya tidak bisa menangis sejak 3 bulan lalu.

Seperti yang saya kemukakan sebelumnya, saya bisa menangis di berbagai kondisi. Tidak perlu menunggu momen sedih saja. Momen menyenangkan juga bisa membuat saya menangis. Namun tidak dengan kondisi saya saat ini. Ketika saya wisuda program magister saya, yang saya lalui dengan penuh pengorbanan (3x saya ikut ujian masuk UI, mental. Hingga akhirnya UGM menerima saya, kuliah yang melelahkan, menguras tenaga dan dompet, tesis yang berbelit-belit dan cobaan dimana pembimbing saya meninggal, semua mewarnai perkuliahan saya, hingga akhirnya saya bisa meraih predikat yang luar biasa bagi saya “CUM LAUDE”), saya justru tidak bisa menangis ketika seremonial wisuda tersebut berlangsung. Bahkan ketika prosesi angkat sumpah sebagai seorang psikolog, yang kata orang penuh dengan suasana haru biru, saya tetap tidak bisa menangis. Kemana air mata saya..?

Pergulatan hidup paska wisuda, sebagai job seeker, pencarian eksistensi diri di usia memasuki 30 tahun dan masih belum bisa berdiri di atas kaki sendiri, krisis percaya diri karena belum bekerja, keinginan memiliki pasangan, kerinduan melakukan aktivitas bersama pasangan, konflik dengan orangtua karena masih merepotkan mereka, jalan menuju cita-cita yang masih panjang, proses mencari kerja yang melelahkan dengan hasil tidak sesuai harapan hingga pertanyaan retorik terhadap kapabilitas diri, hanya mampu membuat dada saya sesak dan mata saya berkaca-kaca. Tidak cukup mampu membuat air mata mengalir di wajah saya. Kemana air mata saya..?

Momen senang, sedih, kemarahan yang awalnya dengan mudah membuat saya menangis, kini tidak lagi mampu menggerakkan otak saya untuk memerintahkan agar air mata saya turun. Hanya meninggalkan rasa sesak di dada saya. Gosh, I hate this situation. Air mata yang membantu saya untuk meregulasi emosi agar saya tetap berfungsi sepenuhnya, air mata yang bertugas menguras emosi negatif dalam tangki emosi diri saya, air mata yang mendampingi saya di berbagai peristiwa, saat ini sedang pergi entah kemana. Ada yang hilang dalam diri saya. Ketika tulisan ini saya buat, dorongan menangis sangat besar, namun seperti biasa, dorongan tersebut terhenti. Sekali lagi, meninggalkan kesesakan.

Saya merindukan diri saya menangis dan ketika air mata memenuhi wajah saya..

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
catatan kecil: seperti biasa http://www.fotosearch.com/ membantu saya mendapatkan gambar untuk ditampilkan

3.10.2010

The Broken Egg

Saya (S): Berapa umurmu..?
Teman (T): 20 tahun, mbak.
S: Berapa kali pacaran..?
T: Belum pernah, mbak..
S: Noh, temen-temenmu yang samaan belum pernah pacaran, uda mulai pacaran noh.. Kapan kamu mo mecahin telurmu?
T: Ntar lah..sebelum aku dewasa, sebelum aku bisa berdamai dengan diriku, kayanya mending telurku utuh aja lah..repot nanti kalo pecah.


Semalam, percakapan tersebut mewarnai diskusi (cukup) panjang di kos saya sambil menanti nyala lampu karena adanya pemadaman. Seorang teman belum pernah memiliki sebuah relasi yang beken dikenal dengan nama pacaran. Dan sebuah idealisme yang cukup baik berada di belakang alasan mengapa teman tersebut masih enggan untuk pacaran.

  1. Sebelum aku dewasa. Teman saya menginginkan sebuah hubungan yang serius. Bukan berarti sekali pacaran harus langsung menikah. Tapi intinya serius. Pacaran baginya bukan ajang mencari pengalaman, mengetahui banyak karakteristik lelaki atau belajar tentang memahami rayu merayu yang maha dashyat. Pacaran memiliki korelasi dengan kedewasaan. Dan teman saya merasa dirinya belum cukup dewasa untuk terlibat dengan sebuah keseriusan seperti yang ia syaratkan dalam sebuah relasi lawan jenis.
  2. Sebelum aku bisa berdamai dengan diriku. Untuk alasan satu ini, teman saya belum membahas lebih lanjut karena topik diskusi kemudian melebar kemana-mana hingga akhirnya lampu pun kembali menyala dan kerumunan pun bubar.
Saya mengatakan kepadanya bahwa di balik persepsinya tentang ke-belum dewasaan-nya, dia justru menampilkan sosok yang dewasa. Bagaimana dia berpikir, bagaimana dia berargumen dan bagaimana dia menggunakan rasionya dengan cukup baik dalam memutuskan sebuah tindakan. Bayangkan saja, dengan umurnya yang memasuki usia 20 tahun, teman saya tidak tergoda dengan tekanan peer group “Kalo loe ga pacaran, loe ga gaul” atau “Loe ga pacaran karena loe ga laku”. Teman saya tentunya tidak masuk tipe yang “ya ampun, gw jelek banget, makanya ga ada yang naksir gw”. Ada tentunya beberapa yang crush on her, namun karena ideologinya, teman saya memilih untuk tidak pacaran.

Tidak mudah bertahan di tengah gempuran pergaulan yang memang tidak ramah terhadap kesehatan kondisi psikologis. Eksistensi diri -terutama bagi remaja dan dewasa awal- beberapa dipengaruhi oleh apa status kita saat ini, jomblo atau berpasangan, siapa pacar kita sekarang atau berapa banyak pacar kita. Diperlukan sebuah kedewasaan untuk mengakui bahwa eksistensi diri semacam itu bukanlah eksistensi diri yang kita butuhkan. Berapa banyak kasus dimana anak-anak SMP-SMU sudah mengenal namanya pacaran dan kebablasan pada aktivitas dewasa? Berapa banyak kasus yang berujung dengan bunuh diri ketika pacar memutuskan kita? Berapa banyak kasus depresi karena tidak punya pacar? Fakta yang ditemukan, saya yakin, akan membuat hati teriris. Dan kehadiran teman saya, sangat membantu sebagai penyegar di tengah bombardir propaganda “loe eksis kalo loe punya pacar”. Dua jempol saya rasa masih belum cukup bagi teman saya tersebut.

Sebagai seorang yang menaruh perhatian terhadap dunia remaja, saya membutuhkan individu dengan pemikiran-pemikiran semacam ini untuk mengkampanyaken pencitraan diri yang sehat bagi remaja. Banyak teman saya yang secara usia telah dianggap sebagai manusida dewasa, tapi apabila kita melongok ke dalamnya, ampun-ampun sudah ketidakdewasaannya. Betapa jelek citra diri yang dimiliki, terkait dengan lawan jenis, sehingga cukup terasa ketidakpercayaan diri yang disimpan. Akibat dari penyikapan yang tidak bijaksana di masa remaja mereka. Jadi, sebaiknya pikirkan benar kapan kita hendak memecahkan telur kita.


catatan kecil:  foto diunduh dari http://www.fotosearch.com/

;;