7.17.2010

Full Timer Mom

It’s Saturday. Dimulai dengan bangun pukul 8 pagi. Duduk di sofa, sms’an dengan seorang sahabat. Ngerumpi sana sini. Sarapan. Ngenet ga penting, hendak membalas imel seorang teman yang bertanya tentang remaja untuk kepentingan surat kabar dia bekerja, eh koneksinya trobel. Bolak-balik diskonek. Tutup laptop, beranjak ke tempat tidur. And show time..tidur siang..! Sangat me time sungguh. Indahnya..andai saja sahabat saya tidak mengingatkan bahwa saya membawa kerjaan kantor untuk mengisi akhir pekan saya. Damn..! Sahabat yang sangat tahu bagaimana merusak me time saya. Hmmmm.. Ga penting itu sebenernya, ga ngefek juga bagi saya. Mengingat level prokrastinasi saya yang luar biasa, ucapan sahabat saya hanya menjadi wacana (thanks to her seharusnya saya itu karena kalau bukan dia, ga ada yang mengingatkan saya).

Saat menikmati me time, tiba-tiba saya teringat sebuah janji pada sahabat lainnya. Seorang mom dengan dua anak balita yang luar biasa. Saya berjanji akan mencoba menuangkan kegelisahannya dalam blog saya. Walaupun seperti katanya, tulisan tidak cukup mampu merepresentasikan apa yang ada di benaknya. Saya mengatakan padanya, setidaknya daripada tidak sama sekali.

Bermula dari sebuah sms panjang yang dikirim sahabat saya yang super mom itu kemarin:
“Siang tadi aku baru aja tau, temen satu genk waktu di kampus dulu sekarang sudah jadi kontributor di stasiun tv terkenal. Kemarin malam, sahabatku baru saja dapat ijin praktek. Dan baru tadi aku tau, teman yang tidak kukira mengajar di sebuah universitas negeri. Aku, tanpa pencapaian dan aktualisasi, sedang ngopi sambil menunggu bak cucian penuh.”
Saya sempat menanyakan ulang sms siapa itu, meskipun nama sahabat saya muncul sebagai pengirimnya. Saya benar-benar tidak menyangka, karena di mata saya, sahabat saya tersebut penuh dengan optimisme dan kebahagiaan luar biasa menjadi ibu untuk dua anak balitanya. Saya pikir dunianya sempurna dengan adanya dua jagoan kecilnya. Tetapi, ada satu ruang yang dia bilang which is empty. Saya tidak tahu harus menanggapi bagaimana sms yang dia kirim. Saya hanya menawarkan cara untuk sekedar mengeluarkan sedikit uneg-unegnya.

Sahabat saya, seorang perempuan energik. Tidak bisa diam dan terkadang nglanangi. Terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Sangat mandiri dan sangat benci jika harus bergantung pada orang lain. Enterpreneur mom, segala bidang bisa menjadi uang. Mulai dari bisnis parsel, guru, membuka agensi guru les hingga agensi outbond. Mulai dari uang sedikit hingga uang lumayan. Selama aktualisasi diri jalan dan ide terealisasi. Semuanya berjalan baik-baik saja hingga akhirnya sahabat saya memutuskan untuk hidup mandiri dengan pindah ke rumah sendiri. Rumah kecil dengan lingkungan yang nyaman. Di rumah baru ini, sahabat saya kesulitan mendapatkan pembantu yang bisa menjaga dua jagoannya. Dan akhirnya, sahabat saya resmi menjadi ibu rumah tangga full timer. Pagi, bangun, nyiapin sarapan, nganter jagoan ke sekolah, ngeberesin rumah sebelum nanti diberantakkin lagi, jemput anak, masak. Siang, waktunya para jagoan makan, nemenin mereka main, syukur-syukur bisa ditinggal, jadi bisa ngebersihin dapur. Sore, mandi sore, nemenin anak-anak main, apa ini, ma, apa itu, ma, kenapa gini, kenapa gitu, ma, kok itu boleh kok ini ga boleh. Malam, bed time story. Setelah itu, waktunya cuci-cuci dan seterika. Berputar seperti itu beberapa bulan terakhir. Minim teman bicara, karena belahan jiwa bekerja hingga larut malam.

Wajar jika kemudian ada sisi yang terasa kosong. Ketika teman satu persatu mewujudkan mimpi dan sahabat saya terjebak di rumah dengan keterbatasan mengaktualisasikan diri, wajar jika rasa kosong itu muncul. Tiada pencapaian diri yang diraih katanya. Saya tidak begitu melihatnya. Bagi saya, keputusan sahabat saya untuk menikah dan menjadi seorang ibu, itu hal yang sangat luar biasa. Hal yang saya pun masih belum bisa lakukan hingga saat ini. Kelegawaan untuk menukarkan mimpi dan kesuksesan pribadi dengan peran yang sangat tidak mudah. Perempuan lajang, sukses dalam karir, aktualisasi diri sempurna, wajar, karena tidak ada hal lain yang dipikirkan selain diri. Namun ketika memutuskan menjadi seorang ibu dengan dua jagoan yang pintar dan membutuhkan pengawasan langsung, karir, kesuksesan pribadi tampaknya menjadi skala kesekian. Ada harga yang harus dibayar dari setiap pilihan. Dan seringkali, harga tersebut sangat mahal. Ketika suami pulang larut malam, sulit untuk diajak berdiskusi atau sekedar bercerita ringan karena keterbatasan waktu, ketika teman sepermainan sibuk mengejar karir dan memamerkan keberhasilan, emptyness lah yang setia mendampingi.

Sejujurnya, saya benar-benar tidak tahu apa yang saya harus lakukan untuk sahabat saya. Tanpa perlu mengalami, saya bisa merasakan betapa menderitanya ketika rasa kosong itu muncul. Namun, saya selalu salut padanya, ketika sahabat saya menerapkan pola pendidikan yang penuh dengan komunikasi. Tidak ada pelototan mata, bentakan, larangan tak berdasar apalagi kekerasan fisik. Kesabaran yang luar biasa terhadap dua jagoannya. Jagoan-jagoan kecil yang tahu benar bagaimana membuat tante Toetiek emosi jiwa. Jagoan-jagoan kecil yang selalu tahu bagaimana membuat rumah berantakan. Jagoan-jagoan kecil yang tahu bagaimana merusak barang. Jagoan-jagoan kecil yang sangat tahu ketika sang mama merasa sedih. Jagoan-jagoan kecil yang selalu yakin bahwa mereka punya mama yang sangat bisa diandalkan. Jagoan-jagoan kecil yang kelak akan sangat berterimakasih dengan mama luar biasa yang selalu ada buat mereka. Jagoan-jagoan kecil yang esok akan dengan bangga mengatakan bahwa sang mama telah mengaktualisasikan diri secara sempurna ketika memutuskan untuk menjadi seorang full timer mom, 24-7 menemani mereka. Seorang sahabat yang menjadi mama sempurna bagi dua jagoannya.



Sebuah tulisan yang saya dedikasikan buat para full timer mom atas pilihan luar biasa mereka.
picture was taken from www.gettyimages.com

0 komentar:

Posting Komentar