7.02.2009

Mind Over Mood

Seminggu terakhir, mind over mood mendarah daging dalam pikiran saya. Jelas lah, mengingat ini materi yang harus saya bawakan untuk sebuah pelatihan pengenalan diri pada remaja. Masalahnya, saya agak kesulitan untuk melakukan penghayatan untuk mempresentasikannya karena yang saya alami beberapa hari belakangan justru mood over mind. Istilah yang sama sekali salah. Sebenarnya, tidak ada yang namanya perasaan menentukan pikiran. Dimana-mana, kodratnya, yang di atas akan mengalir ke bawah. Bukan sebaliknya. Kecuali menggunakan alat bantu. Seperti pompa air. Jadi, sampai kapan pun, penentu itu ya pikiran. Dari otak, turun ke hati.

Kembali pada kesulitan saya tadi. Mengapa saya seolah-olah mengalami situasi mood over mind? Karena tampaknya, perasaan saya mengendalikan pikiran saya. Saya merasakan dulu, baru berpikir sesuai dengan perasaan saya. Saya merasa malas, maka saya berpikir bahwa saya sebaiknya di kamar saja. Atau saya merasa cemas, maka saya berpikir bahwa yang saya lakukan tidak beres semuanya jadi lebih baik saya diam saja. Bagaimana saya berbicara tentang pikiran sebagai pengendali perasaan, sedangkan saya tampaknya berada pada situasi yang sebaliknya.

Dalam mind over mood, karena sifatnya sebagai sebuah terapi, maka penekanannya lebih pada pikiran penghasil perasaan positif. Situasi yang saya alami sebenarnya tetap dikategorikan sebagai mind over mood, hanya saja saya menekankan pemikiran saya untuk menghasilkan perasaan negatif.

Tidak ada dalam sejarah, pikiran negatif akan menghasilkan perasaan positif. Sampai maut menjemput, rumusnya tetap sama. Kalau mau perasaan positif, yang berpikir lah positif! Itu lah kesulitan saya kemarin. Bagaimana saya mempresentasikan tentang berpikir positif sedangkan saya berada pada kondisi sulit untuk berpikir positif. Untungnya, dalam profesi saya, diajarkan bagaimana menyembunyikan permasalahan pribadi di depan klien. Saya praktekkan saja lah. Berhasilkah saya..? Menurut teman saya, iya. Bagaimana menurut saya?

Tidak! Saya merasa sedang mengenakan topeng. Saya jelas tidak nyaman. Pikiran saya berkata bahwa saya berpura-pura. Palsu. Kepalsuan itu membuat perasaan saya jadi semrawut. Apa yang saya sampaikan di depan peserta pelatihan tidak dilandasi dengan ketulusan. Untungnya, saya manusia pembelajar (meskipun kemampuan belajarnya tidak secepat orang-orang pada umumnya, masih bisa lah saya belajar cepat), sehingga saya pun memaknai kembali presentasi saya. Bukan hanya peserta yang tersugesti, saya pun juga. Malu lah saya dengan peserta pelatihan yang notabene para ABG kalau saya tidak bisa menerapkan apa yang saya sampaikan pada mereka. Jadi, meskipun saya baru bisa nyicil pikiran positif untuk menggantikan pikiran negatif saya sedikit demi sedikit, setidaknya saya telah berusaha. Tetap Semangat..!!

0 komentar:

Posting Komentar