10.31.2012

Kapan Kawin...?

“Denda 100jt lo nanya begonoan!’ cerita seorang teman berkisah tentang seringnya pertanyaan itu muncul. Kisah sama juga saya alami. Namun seringnya, sebelum orang nanya, saya yang nanya duluan, “Kapan ini saya kawin…?” Salah juga jadinya, karena biasanya orang yang saya tanya justru semakin panjang komennya. Mbulet aja ga selesai-selesai.

Kawin atau nikah (tergantung kita suka yang mana) jadi topik menarik (yang cenderung mengkhawatirkan) di usia saya yang sudah kepala 3 (ketauan kan, tua). Kenapa menarik? Karena bagi orang-orang, menyenangkan menggunjingkan status lajang saya, “Percuma, ayu, pinter, sugih, tapi ora payu-payu.” (Percuma, cantik, pintar, kaya tapi ga laku-laku). Atau menjadi mengkhawatirkan, karena mulai menjadi tuntutan dari keluarga (ibu terutama), Mbok ya kalau punya pacar jangan disimpen sendiri, dikenalin lah. Hadeuuuuuuuh…

Saya ingat, dulu, ketika usia saya di pertengahan 20, lagi semangat-semangatnya jadi pegawai, saya minta dikenalkan dengan anak kolega orangtua yang sosialita gitu deh. Eh, mak saya komennya begini : Jodoh ga usah dicari. Ga usah khawatir. Umur masih seiprit ini.  Nah ini, mak saya juga yang bingung: Kenapa anak gue belon kawin-kawin umur segini. Nyesel kali ya mak saya dulu ga mau nyariin jodoh buat saya.

Kamu aja yang kebanyakan milih, kebanyakan mau, kebanyakan mikir, makanya ga kawin-kawin.Itu komentar paling banyak yang ditujukan ke saya. Apa iya begitu?


  • Kalau milih, ya iya lah saya harus milih. Secara ini hingga maut memisahkan katanya. Kalau ga milih, tunjuk aja sembarang orang, diajak kawin, selesai.
  • Masalah mau, ya iya lah saya punya serangkaian mau. Momen sekali seumur hidup. Masa maunya orang yang saya pakai buat momen once in a life itu.
  • Kebanyakan mikir, nah ini yang susah. Karakter zodiac saya bilang saya itu suka mikir. Memang begono ternyata.
Merasa agak sedikit berlebihan dengan respon saya terhadap masalah nikah atau kawin ini, saya dengan kesadaran penuh berkonsultasi lah dengan para psikolog senior. Hasilnya adalah satu hal, SAYA MEMANG BELUM SIAP untuk mengarungi bahtera rumahtangga katanya. Percuma juga nanya apa yang bikin saya belum siap, karena jawabannya nanti akan membentang dari Sabang sampai Merauke. Jago ngeles begini soalnya.

Saya suka bingung kalau orang nanya “Kapan kawin?”. Bukan bingung jawabnya, tapi bingung kenapa sih orang mau tau aja kapan saya kawin. Memang kalau saya kawin, yang nanya itu mau ikut bayarin? Nanti kalau saya sudah kawin, ditanya lagi, “Kapan ini momongannya?”. Sudah punya momongan, “Kapan ini adeknya dibikin?”. Sudah ada adiknya, ditanya lagi, “Kapan mantu?”. Kapan coba selesainya mereka nanya. Daripada mereka sibuk nanya kapan saya kawin, mending banget mereka berdoa supaya saya cepet kawin. Habis saya kawin, mereka berdoa saya cepet punya momomgan. Dan seterusnya. Lebih bermanfaat bukan? Ga usah banyak nanya, langsung ke tindakan. Begono yang bener.

Sejauh ini, saya menganggap bahwa pertanyaan-pertanyaan kapan kawin ini tanda kepedulian mereka pada saya. Walaupun sepertinya sebentar lagi masuk pada tahap gangguan. Hanya saja, kalau orang-orang berhenti bertanya kapan kawin, saya pasti akan merasa kehilangan. Sebuah paradoks. Ya begitu lah hidup saya, penuh dengan paradoks. Dinikmati, disyukuri. Kalau kata Indy Barends di akun perburungannya, “Mata berat, badan berat, santeeeeeey. Asal hidup jangan dirasa berat.” 

Kalau ditanya, "Kapan kawin?", dijawab, "Santeeeeeey..."

6.08.2011

Last 10 months

Sudah lama ga nulis. Pas lagi jalan ke blog si bungsu, kok tiba-tiba jadi kangen nulis. Dan ternyata posting terakhir saya Agustus tahun lalu. It means 10 bulan sudah virus malesa indonesiana bermukim di tubuh saya. Sambil nyolong-nyolong waktu dan memanfaatkan fasilitas layar datar serta akses internet kantor, posting satu tulisan sebentar. Ini juga demi keberlangsungan kreativitas otak plus memenuhi pesanan dari kelompok penggemar (meskipun cuma kumpulan teman kos jaman sarap dulu). 

And the story begins..
PEKERJAAN

Ada kemajuan dalam kehidupan profesional saya sebagai karyawan. Saya punya dua asisten yang membantu pekerjaan saya. It means, tanda tangan saya laku meskipun sekedar menandatangani surat ijin keluar atau surat ijin tidak masuk asisten saya. Teman gila pada sibuk komentar: “Bos, bos, bos”. Atau kalau ga ya pada komen: “Kok enak uripmu, duwe asisten”. Hohohohoho, it’s life. Boleh lah ngerasain gimana rasanya punya asisten.Tapi ternyata, memiliki asisten tidak semudah yang saya bayangkan. Tidak seindah yang saya harapkan. Cukup kompleks masalahnya. Dari  tugas yang terlalu banyak, ketidakpuasan salary sampai protes karena perhatian berkurang gara-gara ibu bos sibuk mencari cinta katanya. Efeknya juga bervariasi, dari ga ngefek apa-apa, sedikit rasa pusing sampai berat rasanya ngantor gara-gara satu ruangan dengan para asisten.

Menyandang peran sebagai atasan membutuhkan penyesuaian yang cukup menantang. Terutama memperlakukan mereka setara dengan kita. Adakalanya dorongan kesongongan yang sok jadi bos muncul, suka ngerasa “Ah, kan elu bawahan gue. Suka-suka gue dong nyuruh elu model kaya gimana. “ Untungnya suka muncul juga pikiran gimana coba rasanya kalau kita dapat perlakuan itu. Sakit hati dong, pasti lah. Walau kadang masih sesekali suka seenaknya sendiri nyuruh-nyuruh, setidaknya jarang lah perlakuan tidak manusiawinya.

Belum lagi masalah satu ruangan bersama mereka. Bukan apa-apa, hanya saja saya masuk kategori orang yang – ga mungkin banget bisa menyembunyikan perasaan hati apapun itu bentuknya – Jadi, adakalanya saya merindukan kesendirian saya dulu sebelum mereka datang, terutama kesendirian kalau pengen crying. Hehehehehehe.

Namun apapun itu, saya menikmati kondisi saya sekarang ini. Saya bersyukur dengan kehadiran para asisten saya. Sangat membantu pekerjaan saya. Konflik merupakan hal biasa yang oleh para positivis dikatakan sebagai sarana untuk pengembangan. Ngikut deh ngikut. Daripada pusing gitu kan.
 
SOSIAL

Ada kemajuan juga. Sekarang saya punya partner buat sharing, brainstorming atau sekedar buat ngopi-ngopi tanpa berkata apa pun. Duduk manis di warung kopi. Ngelamun sendiri-sendiri atau ya liat-liatan kaya anak SMU. Ini juga butuh penyesuaian. Kelamaan ngapa-ngapain sendiri, eh sekarang ada temennya. Biasanya mau pergi kapan aja suka-suka hati, sekarang ya tetep sih suka-suka hati. Hehehehehe. Yang membedakan adalah saya sekarang ga perlu pakai bingung kalau mau ngapa-ngapain. Yang pasti juga, keluhan tentang makan sendiri, nonton sendiri, main sendiri berkurang. Kecuali kalau partnernya lagi sibuk, ya perkara lain. Sekali lagi, disyukuri. Syukur, syukur. Karunia dan berkat bukan. Diterima, dirawat dan dinikmati. Mengingat saya seorang pribadi yang – ga mungkin dong hidup sendiri, bisa mati bunuh diri nanti –
 
KESEHATAN DIRI

Untuk pertama kalinya saya rawat inap di rumah sakit. Namanya juga perantauan, karena ga ada yang ngerawat, ya sudah, sewa tenaga profesional di rumah sakit. Mumpung dibayarin kantor (walau pada akhirnya plafon dari kantor ga cukup, tetep aja nombok). Jadi tahu rasanya opname. Yang ga enak banget ternyata memang. Super duper ikan boring. Pengen pulang aja bawaannya (keinginan pulang diperkuat dengan harga rumah sakit yang bener-bener sialan mahalnya).  Bosen, bosen, bosen. Belum lagi intervensi ga penting yang keliatan banget buat nambah pemasukan rumah sakit. Dan jadi bete dong pasti. Mana diagnosisnya ga penting lagi. Bukan ga penting sebenernya, cuma bikin malu aja sih. Hehehehehehe. Tapi, tetep aja ada sisi mengharukan atas kepedulian orang-orang yang rela menyisihkan waktu buat nengokkin.

Dua malam di rumah sakit, tiga hari pemulihan di kos, dijenguk mama. Total lima hari absen kerja. Banyak kerjaan yang terbengkalai. Eh, lha kok satu bulan berikutnya absen kerja lagi lima hari karena sakit juga. Yang ini diagnosisnya lebih ga penting. Lebih bikin malu. Gara-gara bisulan. Masalahnya, si bisul ini nongkrongnya di pantat. Dan besarnya ampun-ampun. Boleh dibilang, ini bisul paling mahal yang saya tahu. Melibatkan satu spesialis bedah, dua spesialis anestesi, antibiotika yang ga murah, narkotika yang dikonsumsi setiap hari plus rawat inap sehari. Belum lagi masalah yang dimunculkan karena tempatnya yang tidak strategis dan painful. Saat-saat ganti perban yang bikin teriak-teriak plus nangis. Urusan buang hajat yang ga sepuas biasanya. Malah kalau bisa ga usah buang hajat biar ga perlu ganti perban. Mandi yang ga bisa bebas. Dan berat badan yang nambahnya ga kira-kira karena ga ada aktivitas fisik sama sekali yang dilakukan, padahal makanan full gizi masuk teratur 3x sehari. Merepotkan dan menyakitkan. Kurang sedekah katanya, ga masuk gara-gara sakit kok dua kali berturut-turut dalam dua bulan. Ga enak ati, sumpah deh.
 
KELUARGA

Berat rasanya untuk yang satu ini. Dan saya pun berpikir saya masih belum sanggup untuk menuliskannya di sini. Masih dalam tahap mempersiapkan diri untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi. Tentang orang yang sangat berarti bagi saya. Dan cobaan yang harus dihadapinya. Tidak pernah terbayang dalam benak saya hidup saya tanpanya. Saya hanya bisa berdoa yang terbaik untuknya. Too much love him.
 

SAAT INI

Tetap dengan mimpi dan usaha mewujudkannya. Mendewasakan diri. Menikmati hidup. Mensyukuri karunia. Berserah.

Tidak merepresentasikan sepenuhnya kehidupan saya 10 bulan terakhir, tapi setidaknya sedikit mengobati kangen saya untuk menulis. Sebenernya lebih ke kangen buat eksis. Hehehehehe.

pinjem gambar dari www.gettyimage.com

8.30.2010

Mas-masnya, Baikan Yuk..

Welcoming Mondaaaaay..:)

Sumpah, semalem saya berharap hari Senin cepet si datengnya. Saya mati sumpek di kos (biasa, lagi kena serangan pencitraan diri yang negatif). Saking semangatnya nungguin hari Senin (yang sangat jarang terjadi), saya bangun sebelum jam weker saya bunyi. Saya yang biasanya bangun jam 6 (dan adakalanya korupsi sampe setengah 7), bangun dengan sendirinya pukul 5. Ketap, ketip, guling sana, guling sini, tetep aja ga bisa merem lagi. Nasib saya mungkin. Dan setelah rutinitas bla, bla, bla, jam 7 saya sudah duduk manis di ruangan saya. Incredible moment! Saya sendiri takjub.

Buka inbox imel kantor, berencana mau mengirim imel ke konsultan HRD (karena ada file yang ketinggalan), ternyata setelah saya cek lagi, ya ampuuuun, semua file yang harusnya saya kirim kemarin Jumat, belum saya lampirkan. Bagooooos, dimana otak saya kemarin itu. Nevermind, saya kirim ulang lah. Susah amat. Toh konsultannya juga lagi di luar kota, ga mungkin juga cek imel. Urusan imel, beres. Cek lagi, ada kerjaan apa hari ini. Ternyataaaaa..kerjaan ringan. Semua tanpa deadline.. Lovely Monday..

Ngeblog aja lah bentar, udah lama ga update.

Semalem, saya berpikir apa ya yang buat saya ga bisa damai dengan semua mantan saya. Mantan yang berakhir dengan baik-baik aja ga bisa damai, apalagi yang berakhirnya dengan tidak baik.

  1. Pacar SMU, saya putuskan dengan alasan bosan. Dia tidak mau menyapa saya hingga detik ini. Keberadaannya dimana, saya juga ga tau.
  2. Pacar pertama waktu kuliah, alesannya sama, saya bosan. Masuk rumah sakit karena OD (gara-gara saya katanya). Ini juga sama. Dia membenci saya. Ilang juga ditelan bumi. Di semua jejaring sosial, dia ga ada. Padahal setau saya dia cukup eksis sebelumnya.
  3. Pacar kedua waktu kuliah, nah, yang ini baru aja saya ketemu lagi di F***book. Ternyata udah punya bini dan satu anak. Setelah putus dulu, dia juga ogah ketemu saya, ogah ngomong sama saya. Ogah lah deket-deket dengan apapun yang ada bau-baunya saya. Baru aja di jejaring sosial itu saya ngobrol-ngobrol, itupun cuma bentar aja.
  4. Pacar ketiga waktu kuliah, setelah putus, mas mantan yang ini langsung punya pacar lagi dan meninggalkan saya dalam lembah patah hati selama 2 tahun. Saya si pengennya tetep bisa bertemen meskipun putus, tapi pacar mas mantan ini sakit jiwa. Ga ngebolehin mas mantan berhubungan dengan mantan-mantannya, terutama saya. Setelah mas mantan ini putus sama pacarnya yang sakit jiwa, baru deh saya bisa bertemen baik. Dan itu butuh waktu 4 tahunan. Saya heran, mas mantan saya ini betah amat ya pacaran sama perempuan sakit jiwa gitu.
  5. Pacar keempat waktu kuliah,nah ini, mantan favorit saya. Putus baik-baik saya yang pertama. Karena sifatnya yang baik-baik, hubungan paska putus juga damai sejahtera. Bahkan, beliau mengundang saya ketika menikah. Menjadi sangat tidak baik setelah beliau menikah. Katanya si gara-gara blog saya. Tulisannya mendeskreditkan bliau (menurutnya) dan sangat mengganggu. Psychological war lah akhirnya. Hingga detik ini. Mungkin, kalo bliau bertemu saya secara tidak sengaja, bisa terjadi huru-hara pasti.
  6. Pacar terakhir saya. Sangat tidak baik berakhirnya. Menyisakan revenge di hati saya. Walopun sudah saya kurangi revenge'nya, ga juga ngefek, mas mantan yang terakhir ini uniknya setengah mati. Terakhir bertemu dengannya saya pikir akan mampu memperbaiki perang dingin antara saya dan dia. Tapi kok ya sama aja. Kalo saya telpon, ga diangkat. Saya sms, ga dibales. Hadaaaaah.. Mau saya nanya apa aja, ya cuma kaya ketemu tembok gitu.
Saya suka iri sama temen-temen yang tetep bisa baik-baik aja sama mantan-mantan mereka. Gimana ya caranya..? Okelah, buat para mantan saya yang tersakiti oleh saya, mungkin mereka emang sakit ati mampus, tapi masa si sampai sekarang? Masa si ga bisa baikan gitu..? Tapi, kalo mas mantan yang terakhir, apa alesannya? Dia kegeeran kali ya saya masih menyimpan rasa dan menginginkannya kembali (duluuuuu, pernah si saya ngajak balikan) tapi sekarang kan ga lagi. Ya emang si, saya belum punya pacar, emang si saya masih suka kangen sama dia, tapi kan saya udah ga berharap lagi. Saya ga tau lagi deh apa alesannya. Kalo lagi kena serangan pencitraan diri negatif kaya semalem, pikiran ga penting kaya yang saya tuliskan ini bisa memicu keinginan bunuh diri. Naek pemancar tivi, bluuup, terjun deh. Terus saya hantui lah mantan-mantan saya yang susah banget buat diajak damai. Saya kejar terus sampai mereka bilang alesan sebenernya ga mau damai sama saya. Kalo udah nemu, baru saya bisa damai dan naik ke surga (ga mungkin kayanya, secara matinya bunuh diri).

Mungkin saya memang jatahnya masuk dalam kategori yang ga bisa damai sama mantan (mau gimana pun model putusnya, mau seberapa lamanya kisah itu usai). Sahabat saya juga suka gregetan sama saya, kenapa juga saya suka bener ngebahas hal ga penting kaya begini yang pada akhirnya cuma bikin saya kena serangan mood disorder yang ditambahi cognitive disorder. Saya juga ga tau, kenapa yaaak..?

picture was taken from http://www.gettyimages.com

7.18.2010

ANGER


Dia bilang saya super manja dan kekanak-kanakan. Dia bilang tidak semua yang saya ingin bisa saya dapatkan. Dia bilang skeptis saya sudah keterlaluan. Dia bilang itu cuma perasaan bukan realita. Dia bilang saya harus selalu jadi diri saya sendiri. Dia bilang saya terlalu banyak mengeluh. Dia bilang saya mudah sekali ngambek. Dia bilang dia sedang melakukan sebuah terapi untuk memperbaiki perilaku saya. Dia bilang dia tidak bodoh ketika memutuskan terapi apa yang cocok buat saya. Dia bilang bahwa sikap oposisinya terhadap saya itu disengaja.




Dia juga yang membuka namun lupa menutup. Dia juga yang meminjam tapi lupa mengembalikan. Dia juga yang datang dan pergi sesuka hati. Dia juga yang hadir antara ada dan tiada.

Dia lupa saya punya rasa. Dia lupa bahwa segala sesuatu bisa dikomunikasikan. Dia lupa bahwa saya sering dikelilingi sepi. Dia lupa bahwa saya membutuhkannya.

Dan saya..menangis saat ini..karenanya..untuk kesekian kali..

Dan saya..sekali lagi merasa bahwa ini seharusnya tidak perlu..

Dan saya..butuh bukti, bukan janji..

Dan saya..hanya bisa mengatakan fuck..

Dan saya..sangat marah padanya..

7.17.2010

Full Timer Mom

It’s Saturday. Dimulai dengan bangun pukul 8 pagi. Duduk di sofa, sms’an dengan seorang sahabat. Ngerumpi sana sini. Sarapan. Ngenet ga penting, hendak membalas imel seorang teman yang bertanya tentang remaja untuk kepentingan surat kabar dia bekerja, eh koneksinya trobel. Bolak-balik diskonek. Tutup laptop, beranjak ke tempat tidur. And show time..tidur siang..! Sangat me time sungguh. Indahnya..andai saja sahabat saya tidak mengingatkan bahwa saya membawa kerjaan kantor untuk mengisi akhir pekan saya. Damn..! Sahabat yang sangat tahu bagaimana merusak me time saya. Hmmmm.. Ga penting itu sebenernya, ga ngefek juga bagi saya. Mengingat level prokrastinasi saya yang luar biasa, ucapan sahabat saya hanya menjadi wacana (thanks to her seharusnya saya itu karena kalau bukan dia, ga ada yang mengingatkan saya).

Saat menikmati me time, tiba-tiba saya teringat sebuah janji pada sahabat lainnya. Seorang mom dengan dua anak balita yang luar biasa. Saya berjanji akan mencoba menuangkan kegelisahannya dalam blog saya. Walaupun seperti katanya, tulisan tidak cukup mampu merepresentasikan apa yang ada di benaknya. Saya mengatakan padanya, setidaknya daripada tidak sama sekali.

Bermula dari sebuah sms panjang yang dikirim sahabat saya yang super mom itu kemarin:
“Siang tadi aku baru aja tau, temen satu genk waktu di kampus dulu sekarang sudah jadi kontributor di stasiun tv terkenal. Kemarin malam, sahabatku baru saja dapat ijin praktek. Dan baru tadi aku tau, teman yang tidak kukira mengajar di sebuah universitas negeri. Aku, tanpa pencapaian dan aktualisasi, sedang ngopi sambil menunggu bak cucian penuh.”
Saya sempat menanyakan ulang sms siapa itu, meskipun nama sahabat saya muncul sebagai pengirimnya. Saya benar-benar tidak menyangka, karena di mata saya, sahabat saya tersebut penuh dengan optimisme dan kebahagiaan luar biasa menjadi ibu untuk dua anak balitanya. Saya pikir dunianya sempurna dengan adanya dua jagoan kecilnya. Tetapi, ada satu ruang yang dia bilang which is empty. Saya tidak tahu harus menanggapi bagaimana sms yang dia kirim. Saya hanya menawarkan cara untuk sekedar mengeluarkan sedikit uneg-unegnya.

Sahabat saya, seorang perempuan energik. Tidak bisa diam dan terkadang nglanangi. Terbiasa melakukan segala sesuatunya sendiri. Sangat mandiri dan sangat benci jika harus bergantung pada orang lain. Enterpreneur mom, segala bidang bisa menjadi uang. Mulai dari bisnis parsel, guru, membuka agensi guru les hingga agensi outbond. Mulai dari uang sedikit hingga uang lumayan. Selama aktualisasi diri jalan dan ide terealisasi. Semuanya berjalan baik-baik saja hingga akhirnya sahabat saya memutuskan untuk hidup mandiri dengan pindah ke rumah sendiri. Rumah kecil dengan lingkungan yang nyaman. Di rumah baru ini, sahabat saya kesulitan mendapatkan pembantu yang bisa menjaga dua jagoannya. Dan akhirnya, sahabat saya resmi menjadi ibu rumah tangga full timer. Pagi, bangun, nyiapin sarapan, nganter jagoan ke sekolah, ngeberesin rumah sebelum nanti diberantakkin lagi, jemput anak, masak. Siang, waktunya para jagoan makan, nemenin mereka main, syukur-syukur bisa ditinggal, jadi bisa ngebersihin dapur. Sore, mandi sore, nemenin anak-anak main, apa ini, ma, apa itu, ma, kenapa gini, kenapa gitu, ma, kok itu boleh kok ini ga boleh. Malam, bed time story. Setelah itu, waktunya cuci-cuci dan seterika. Berputar seperti itu beberapa bulan terakhir. Minim teman bicara, karena belahan jiwa bekerja hingga larut malam.

Wajar jika kemudian ada sisi yang terasa kosong. Ketika teman satu persatu mewujudkan mimpi dan sahabat saya terjebak di rumah dengan keterbatasan mengaktualisasikan diri, wajar jika rasa kosong itu muncul. Tiada pencapaian diri yang diraih katanya. Saya tidak begitu melihatnya. Bagi saya, keputusan sahabat saya untuk menikah dan menjadi seorang ibu, itu hal yang sangat luar biasa. Hal yang saya pun masih belum bisa lakukan hingga saat ini. Kelegawaan untuk menukarkan mimpi dan kesuksesan pribadi dengan peran yang sangat tidak mudah. Perempuan lajang, sukses dalam karir, aktualisasi diri sempurna, wajar, karena tidak ada hal lain yang dipikirkan selain diri. Namun ketika memutuskan menjadi seorang ibu dengan dua jagoan yang pintar dan membutuhkan pengawasan langsung, karir, kesuksesan pribadi tampaknya menjadi skala kesekian. Ada harga yang harus dibayar dari setiap pilihan. Dan seringkali, harga tersebut sangat mahal. Ketika suami pulang larut malam, sulit untuk diajak berdiskusi atau sekedar bercerita ringan karena keterbatasan waktu, ketika teman sepermainan sibuk mengejar karir dan memamerkan keberhasilan, emptyness lah yang setia mendampingi.

Sejujurnya, saya benar-benar tidak tahu apa yang saya harus lakukan untuk sahabat saya. Tanpa perlu mengalami, saya bisa merasakan betapa menderitanya ketika rasa kosong itu muncul. Namun, saya selalu salut padanya, ketika sahabat saya menerapkan pola pendidikan yang penuh dengan komunikasi. Tidak ada pelototan mata, bentakan, larangan tak berdasar apalagi kekerasan fisik. Kesabaran yang luar biasa terhadap dua jagoannya. Jagoan-jagoan kecil yang tahu benar bagaimana membuat tante Toetiek emosi jiwa. Jagoan-jagoan kecil yang selalu tahu bagaimana membuat rumah berantakan. Jagoan-jagoan kecil yang tahu bagaimana merusak barang. Jagoan-jagoan kecil yang sangat tahu ketika sang mama merasa sedih. Jagoan-jagoan kecil yang selalu yakin bahwa mereka punya mama yang sangat bisa diandalkan. Jagoan-jagoan kecil yang kelak akan sangat berterimakasih dengan mama luar biasa yang selalu ada buat mereka. Jagoan-jagoan kecil yang esok akan dengan bangga mengatakan bahwa sang mama telah mengaktualisasikan diri secara sempurna ketika memutuskan untuk menjadi seorang full timer mom, 24-7 menemani mereka. Seorang sahabat yang menjadi mama sempurna bagi dua jagoannya.



Sebuah tulisan yang saya dedikasikan buat para full timer mom atas pilihan luar biasa mereka.
picture was taken from www.gettyimages.com

7.12.2010

The Rainbow

Siapa orang ini yang membuat hidup saya berwarna dua minggu terakhir?

Ada beberapa warna yang dia hadirkan di kehidupan dua minggu terakhir saya:
  1. Merah muda: Ketika orang ini membuat pipi saya bersemu dengan sms-sms dan panggilan-panggilan manisnya.
  2. Biru muda: Ketika genggaman tangannya menciptakan kenyamanan dan rasa aman saat bersamanya.
  3. Kuning: Ketika gurauannya membuat saya tertawa terpingkal-pingkal dan merasa “Ya ampun, orang ini pintarnya menghidupkan suasana.”
  4. Biru tua: Ketika cara dia mengajari saya membuat saya terkagum-kagum dengan kapasitas intelektualnya.
  5. Abu-abu: Ketika tidak ada komunikasi sama sekali darinya dan status-statusnya membuat saya gelisah.
  6. Merah: Ketika dia mempermalukan saya dan membuat saya marah.
  7. Hitam: Ketika dia menghilang, seperti saat ini.
Siapa orang ini sehingga begitu signifikannya dia bagi saya? Siapa orang ini? Anyone..?


7.03.2010

Beautiful Lunch

Anda pasti tahu rasanya ketika Anda menunggu seseorang, sekian lama, sambil kelaparan, dan di menit terakhir orang yang Anda tunggu membatalkan janji dengan Anda? Rasanya Anda bisa lakukan apa saja untuk membunuh orang tersebut saat itu juga. Begitu juga dengan saya. Hufthuft.. Di tengah rasa lapar yang menggila bercampur dengan emosi jiwa, saya menjelma menjadi manusia tanpa hati karena seorang membatalkan janji makan siang di menit terakhir. Makan siang bayangkan makan siang! Aktivitas pemenuhan kebutuhan dasar, kebutuhan pokok semua manusia!!!!! Saya sudah menanti, membayangkan menu makan siang saya yang merasuk sukma. Yang tidak setiap hari bisa saya nikmati. Menu makan siang yang rela saya tukarkan dengan nyawa saya saat ini. Dan tiba-tiba batal. Hadaaaaaaaaaaaaaaaaah.. Saya pun rela mengosongkan perut saya dari pagi demi makan siang ini. Berharap saya akan dapat menampung menu yang sangat banyak siang ini. Dan ternyata tidak terwujud. Sangat wajar saya bisa membunuh. Terutama membunuh orang yang membatalkan janji makan siang ini.




Saya pun mengirimkan sms ke teman dekat saya: “Ga jadi lunch, ada jadwal ngajar tiba-tiba. Baru aja ngabari.”
Teman saya membalas: “Woooh, kemampleng tenan memang. Sabar, sabar, tan.”
Saya: “Harus memahami lagi berarti?”
Teman Saya: “Sabar, sabar.”

Orang yang membatalkan janji makan siang ini bilang semua hal selalu membuat saya kesal. Termasuk dia juga itu, membuat saya kesal. Saya sudah mau mati kelaparan menunggunya. Wajarlah ya kalau saya kesal. Dan tahu apa respon orang ini ketika saya komplain tentang pembatalan janjinya yang seenaknya sendiri:
“Kalau mau nunggu ya agak siangan, cantik. Paling jam 2 – 3 an aku kelar.”
Manis bukan responnya? Panggil cantik segala. Memang dengan memanggil saya cantik, rasa lapar saya berganti dengan rasa kenyang? Yang lebih indah lagi adalah alternatif waktu pengganti yang dia tawarkan. Jam 2 – 3 an!!!!!! Siangnyaaaaaaaaaaaaa.. Hadah, hadah, hadah..duh, Gusti..

Saya sudah mau mati saja gara-gara kelaparan. Anak kos pula. Ga ada stok makanan. Mau keluar cari makan, panasnya aje gile. Sepertinya mending saya tidur saja lagi. Bangun sorean, baru cari makan. Dan dalam tidur saya, akan saya mimpikan orang yang membatalkan janji makan siang saya. Dalam mimpi, saya akan lakukan mutilasi padanya. Kalau perlu habis saya mutilasi, saya blender. Biar lembut sekalian tidak bersisa. Saya campur dengan telur lantas saya goreng. Saya jadikan menu makan siang saya.


picture was taken from www.gettyimages.com

;;