10.20.2009

Anti Trust

Jogja luar biasa panasnya. Sangat mampu untuk membuat orang-orang di sekitar saya mengalami hiperemosi (istilah baru dari hasil ngobrol di warung kopi). Dan saya? Cuaca panas Jogja yang menggila hanya mampu membuat saya setengah bugil ketika menulis catatan kecil ini.

Dua hari lalu, saya bertemu dengan teman-teman lama. Ngobrol panjang lebar di sebuah warung kopi yang agak sedikit elit lah dengan menu-menu luar negeri. Salah seorang teman lama menginspirasi tulisan saya ini. Karena masalah etika, saya meminta ijin untuk menulis tentang dirinya. Berbicara tentang etika, ternyata masa-masa akhir saya sebagai seorang mahasiswa memberi saya sebuah pelajaran tentang hal itu. Hmmmm..orangtua saya pasti bangga kalau tahu anaknya sudah mulai beretika. Dan teman-teman saya juga tidak akan malu tentunya jika berjalan bersama saya, karena saya setidaknya sudah cukup tahu tata krama. Hohohohohohohoho..

Kembali pada teman saya tadi, apa yang menarik dari dirinya yang mengilhami saya menulis? Tentang masalah kepercayaan. Begitu sulit bagi teman saya untuk percaya pada orang lain. Masa lalunya dipenuhi oleh pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan tentang hal percaya mempercayai. Pengkhianatan, kebohongan, kemunafikan dan parasitisme rupanya datang silih berganti dalam kehidupannya. Hingga sebuah istilah tentang dia masuk ke telinga saya, anti trust .

Ketika saya pulang, saya berpikir tentang diri saya. Sepertinya saya mengalami hal serupa, dengan spesifikasi hanya kepada lelaki. Bahkan pada tahap tertentu, saya menjadi paranoid. Jelas lah tidak kepada semua lelaki. Kalau teman saya bilang hanya kepada lelaki yang berpotensi untuk menjalin komitmen dengan saya. Ada benarnya apa yang dibilang teman saya, mengingat bahwa kecenderungan saya akhir-akhir ini adalah selalu saja tergila-gila pada lelaki yang jelas-jelas tidak akan memiliki masa depan dengan saya. Misalnya, lelaki yang jarak usianya terpaut jauh dengan saya, jauh di atas maupun jauh di bawah saya. Atau menyukai lelaki yang already taken. Atau lelaki yang jelas-jelas tidak menyukai saya (kalau yang ini, memang agak-agak kebangetan sayanya, update terus berita tentang dia dan bertekad menjadi penggemar rahasia selamanya). Giliran bertemu dengan lelaki yang mungkin berprospek menjadi pasangan saya, adrenalinnya tidak terpacu (boong banget si sebenernya, belum pernah ketemu faktanya, biasa, efek dramatis buat tulisan ini..hihihihihi..)

Darimana anti trust itu muncul coba? Ya jelas lah dari yang namanya p.e.n.g.a.l.a.m.a.n. Luar biasa efeknya. Di buku-buku bule dibilang: Hal tidak menyenangkan direspon sebagai hal yang sebaiknya tidak perlu diulangi lagi. Gampang, tapi susah penerapannya. Ambil lah contoh, saya jatuh cinta, berpacaran, dikhianati. Kalau mengikuti teori, pengalaman jatuh cinta saya tidak menyenangkan, lha berakhir dengan pengkhianatan, jadi sebaiknya tidak perlu diulangi lagi. Tapi ya jelas laaaaah ga mungkin. Mau mati sinting apa saya berhenti jatuh cinta? Saya bertekad, akan kembali jatuh cinta dengan catatan tidak perlu dibumbui pengkhianatan. Jatuh cinta lah saya yang kedua, pacaran, tidak dikhianati, tetapi dibohongi. Pacar sudah punya pacar di negeri seberang. Weeeeeitttttsss, sempurna. Berhentikah saya jatuh cinta? Sangat sinting kalau hanya karena dibohongi saya memutuskan berhenti jatuh cinta dan berhenti pacaran. Jatuh cinta lagi, pacaran lagi. Dengan target: no pengkhianatan, no dibohongi. Ternyata, pacar saya hanya numpang popularitas biar terkenal. Siapa gitu kan yang ga kenal saya, penulis masa depan, pengganti Dewi Lestari. Dan akhirnya saya pun lelah, bukan lelah jatuh cinta (karena bagi saya, cinta masih memberikan sensasi t.e.r.s.e.n.d.i.r.i yang terkadang bisa membuat saya o.r.g.a.s.m.e), tetapi lelah pada komitmen. Bahkan meragukan sebuah komitmen.

Saya yakin saya tidak sendiri. Banyak dari Anda mengalami masalah serupa dengan saya. Mungkin tidak terkait dengan masalah cinta, tetapi masalah yang lain. Muncul sebuah keraguan dalam diri yang berujung pada sebuah ketidakpercayaan terhadap suatu hal. Ketidakpercayaan terhadap teman, orangtua bahkan pada diri sendiri akibat pengalaman tidak menyenangkan yang berulangkali yang dialami. Apakah masalah ketidakpercayaan itu jelek? Siapa bilang itu jelek? Justru, ketidakpercayaan membuat kita lebih waspada, berhati-hati dalam bertindak, bersikap selektif. See, tidak jelek bukan? Baik-baik saja ini. Hanya, pada kadar tertentu, ketidakpercayaan benar-benar sangat merusak.

Menurut saya, ketidakpercayaan tersebut masuk dalam kategori merusak, diantaranya bila:
1. Kita merasa orang lain tidak bisa melakukan sebaik apa yang biasa kita lakukan atau sebaliknya.
2. Kita (sering) merasa kesepian (dan sendiri) di tengah keramaian.
Dan kalau ketidakpercayaan masuk pada level destruktif, jelas cuma memberikan kerugian. Lelahnya luar biasa. Seperti saya, lelah sangat saya dijangkiti penyakit paranoid pada komitmen dengan lelaki yang membuat saya tidak berhenti menganalisa, yang buntut-buntutnya cuma mengeluarkan pemikiran: "Jangan jangan dia begitu, jangan jangan dia begini."

Dalam keletihan tersebut, saya berpikir (mungkin tidak seorang yang sedang letih, berpikir, dan pemikirannya itu valid? hohohohohohohoho, hanya saya yang bisa lakukan itu..) bahwa tidak ada gunanya mempertahankan sebuah hal yang jelas-jelas destruktif, diantaranya paranoid saya yang agak berlebihan. Bayangkan, betapa capeknya saya terus menganalisa dan menghasilkan pemikiran negatif tentang komitmen dan lelaki. Mau jadi psikolog model apa saya kalau terus begitu? Psikolog sinting mungkin (tapi gaya). Apa yang bisa saya banggakan ketika saya berbicara di hadapan berjuta-juta orang tentang komitmen tetapi jauh di lubuk hati, saya menghujat komitmen itu sendiri? Saya hanya sedang melakukan kemunafikan yang pada akhirnya semakin meningkatkan level destruktif diri akibat ketidakpercayaan yang saya alami. Terus, terus dan akhirnya saya mati merana karena ketidakpercayaan. Oh, no, no, no..saya tidak mau seperti itu. Buat apa saya susah-susah hidup sekian puluh tahun dan mati hanya karena sebuah paranoid berlebihan sebagai akibat ketidakpercayaan yang tidak bisa saya kendalikan. Sinting kalau itu terjadi pada saya. Sangat sinting bahkan.

Ketidakpercayaan itu untuk diatasi, bukan dipelihara dan dibesarkan, dipupuk ataupun dirawat. Ketidakpercayaan itu seperti obat, pada dosis tertentu, dia mampu menyembuhkan, namun lebih dari dosisnya, dia akan mematikan. Sama halnya seperti obat, ketidakpercayaan memiliki rasa yang tidak enak, hanya pahit. Konsumsilah hanya dengan resep dokter .




0 komentar:

Posting Komentar