10.07.2009

Penis dan ABG

Saya sedang jengkel dengan tugas akhir saya. Selalu saja kurang, kurang dan kurang. Revisi, revisi, revisi terus. Jadi, sebagai pengalih perhatian sementara, saya menerima tawaran dari teman saya untuk mengisi pembekalan bagi remaja di salah satu SMU negeri.

Friend of mine (FM): Bun (ini panggilan beken saya), tolongin si ngisi materi di sma'ku. Topiknya pasti kamu suka.
Me (M): Apaan topiknya?
FM: Kesehatan reproduksi..!!
M: (dengan mata berbinar karena menemukan waktu berbicara tentang seks) Yoyoi.. Siap..tapi materi kamu lah ya yang nyiapin.
FM: Wokewokewoke..tapi ada NAPZAnya juga..
M: Halah, kok pake NAPZA..(merutuk karena waktu berbicara tentang seks akan terpotong oleh topik yang saya tidak sukai.)

Dan tiba lah hari bersejarah itu. Hari dimana saya bisa berbicara tentang seks.
Bla, bla, bla..dimulai dengan pembuka, bla, bla, bla, dan ini lah saatnya..

M: Apakah reproduksi itu?
Remaja (R): Proses berkembang biak untuk menghasilkan keturunan (bahasanya biologi sangat dan tidak bercacat. Gurunya pasti senang. Muridnya sopan dan pandai.)
M: Waaah, pintar. Apa saja alat reproduksi itu?
R: Ya itu.
M: Itu apa?
R: Ya itu. (Salah satu contoh jeleknya metode pendidikan di negara saya tercinta).
M: Oke, alat reproduksi laki-laki apa?
R: Ituuuuuu..(mulai saya jengkel dengan metode pembelajaran yang mereka terima).
M: Ooooo, jadi buku biologi bilang kalo alat reproduksi laki-laki disebut itu?
R: Iyaaaa..(Saya jadi ingin tahu, siapa guru biologi mereka).
M: Baiklah, karena kalian ga mau bilang apa alat reproduksi laki-laki, saya saja yang sebut (waaaaah, saya akan menyebutkan salah satu bagian kesenangan saya). Alat reproduksi laki-laki disebut penis!
R: Hiiiiiiiiiiiiiiiiii..mbaknya njijiki.
M: (dalam hati saya mengutuk mereka).
Akhirnya saya dengan setengah memaksa, meminta mereka untuk mengulang kata penis tersebut. Ada yang tetap tidak mau mengikuti permintaan saya dan hanya diam saja.

Berbicara tentang seks bukan hal yang mudah di Indonesia. Budaya yang turun temurun menjadi salah satu penghambatnya. Tabu, jorok, porno, saru atau apa lah istilahnya. Ironisnya, perilaku seks masyarakatnya, luar biasa memprihatinkan. Peningkatan kehamilan di luar pernikahan atau penyebaran penyakit seks menular yang memprihatinkan. Ini lah akibat kebodohan yang dibuat sendiri. Dibicarakan secara terbuka, tidak diperbolehkan. Ditutupi, jadinya malah busuk.

Apa lah ruginya membicarakan seks dalam koridor yang jelas. Dalam fungsi pengetahuan, misalnya. Ilmiah sebenarnya. Sangat ilmah, sarat dengan teori-teori yang disertai bukti keilmuan, tetapi kenapa masih saja susah untuk dibicarakan? Di kalangan akademik, baiklah, tidak ada masalah. Di kalangan awam?

Satu hal ironik yang saya dapati ketika saya berbicara beberapa hari lalu, keseluruhan dari mereka enggan menjawab pertanyaan saya tentang nama alat reproduksi laki-laki, tetapi mereka bisa menyebutkan tentang cupang, cipok dengan mudahnya. Bayangkan, koridor pertanyaan saya jelas dalam batasan keilmuan, dan mereka ENGGAN menjawab. Justru mereka tanpa beban berbicara tentang istilah-istilah terkait dengan seks di luar keilmuan. Saya yang sinting atau bagaimana?

Seorang dari mereka ada yang bisa menjawab tentang aktivitas seksual yang dapat mengarah pada hubungan kelamin. Kissing, necking dan petting. Maka saya pun menjelaskan satu persatu tentang tiga hal tersebut. Ketika tiba di bagian petting, mulai lah saya menuai tanggapan: yeeeeekkk, nggilani, njijiki. Bahkan beberapa saya lihat ada yang sampai menutup telinga sambil geleng-geleng ketika saya menjelaskan tentang petting. Sekali lagi, saya terenyuh melihat keadaan tersebut.

Di tahun seperti ini, dengan kemajuan teknologi dan banyak hal lainnya, seks masih saja menjadi hal yang sulit untuk dibicarakan secara terbuka bahkan dalam koridor pendidikan. Padahal menurut Maslow, seks sebagai kebutuhan fisiologis merupakan kebutuhan paling dasar dari seorang manusia. Kalau keberadaannya saja masih sering ditutupi dengan alasan kesopanan, mau dapat informasi benar bagaimana coba. Hasilnya, banyak yang meraba-raba, mencoba-coba tanpa panduan yang tepat dan berdampak sangat buruk. Namun ketika seseorang mencoba menelusuri lebih dalam tentang seks dalam rangkan mendapatkan panduan yang tepat, jalan mereka dihambat. Misal: Anak kecil yang tanpa sengaja melihat tayangan orang sedang berciuman kemudian menanyakan kepad orangtuanya, berapa banyak orangtua yang bisa menjelaskan dengan tepat? Paling-paling dijawab, itu urusan orang dewasa atau huussssh, masih kecil, jangan tanya yang macem-macem kaya gitu atau langsung televisi dimatikan. Begitu susahkah menjelaskan hal yang benar tentang seks? Sangat fatal kalau kita sejak dini tidak memberikan informasi yang tepat tentang seks.

Tidak pernah ada kata terlambat untuk menginformasikan seks dengan tepat guna..

0 komentar:

Posting Komentar